Oleh Saifuddin Bantasyam*
Hari ini, 12 Desember 2020, saya mendengar sebuah statemen penting dari seorang akademisi, “Sudah bosan bicara tentang HAM dan keadilan.” Beliau kemudian menjelaskan sedikit alasan tentang statemen itu. Kemudian, di media sosial, ada beberapa sharing tentang berita pidato Presiden Jokowi dalam menyambut 10 Desember sebagai Human Rights Day. Hal yang dibagi di dalam media sosial itu bukannya tentang isi pidato Jokowi, melainkan perbandingan angka yang timpang antara yang “like” pidato tersebut dengan yang “dislike” yang jauh lebih banyak.
Barangkali, kita memang tidak bisa menolak bagaimana setiap orang memosisikan dirinya, baik tentang HAM maupun tentang keadilan. Apalagi jika kita memegang satu ajaran, yang menyebutkan bahwa dasar bagi adanya HAM dan keadilan itu adalah moral. Karena dasarnya kepada moral, maka teramat sangat mungkinlah terjadi perbedaan dalam cara melihat atau memahami HAM dan keadilan itu. Atau ketidakseragaman sikap terkait dengan kasus-kasus tertentu. Moral adalah sesuatu yang ukuran atau standarnya bersifat subjektif.
Tetapi terkait dengan 10 Desember, maka kita memang tak boleh melewatinya begitu saja. Tanggal tersebut adalah sebuah sejarah penting terkait dengan perjalanan HAM sejak deklarasi Universal Declaration of Human Rights oleh PBB pada 10 Desember. Saya sendiri mengingat 10 Desember itu dengan mengikuti presentasi dan diskusi dengan topik tentang “Orang Hilang yang Tidak Kembali” yang dilaksanakan oleh sebuah LSM di Banda Aceh.
Hari tersebut menjadi sebuah pencapaian penting umat manusia di zaman modern karena sejarah masyarakat bangsa-bangsa di dunia adalah sejarah yang tak lekang dari berbagai tragedi kemanusiaan.
Di Asia, banyak di antara kita yang masih ingat masa-masa di mana ratusan ribu– sejutaan lebih orang menemui ajal di tangan rezim Khmer Merah (Pol Pot) saat berkuasa di Kamboja. Di Amerika Latin, di Argentina, sekitar 9.000-an orang hilang ketika negeri itu berada di bawah rezim militer di akhir tahun 1970-an. Di Afrika, di Uganda, saat Idi Amin berkuasa, sepanjang tahun 1972-1978, sekitar 250.000 orang terbunuh. Di Rhwanda, sekitar satu juta orang menemui ajal dalam peristiwa genosida. Jauh sebelumnya itu, di Jerman, Hitler membantai sekitar 6 juta orang Yahudi. Augusto Pinochet di Chile menghilangkan sekitar 1.500 penduduknya dan membunuh sekitar 2.300 lawan politik.
Sejarah dunia kontemporer juga dijejali peristiwa serangan teroris di New York, diikuti serangan AS ke Irak, kasus Afghanistan, dan juga kasus-kasus di Chechnya. Di tempat-tempat yang disebut terakhir ini, ada ribuan penduduk yang tak berdosa menemui ajalnya, atau berada dalam penahanan di luar prosedur yang ditentukan oleh hukum, atau dihukum tanpa proses hukum yang adil, sesuai dengan asas-asas universal (Freeman, 2002: 2-3). Jangan pula kita tanya sikap Israel kepada Palestina dan kemudian sikap pemerintah Myanamar terhadap Rohingya. Lalu sikap negara seperti Perancis yang akan membuat UU khusus tentang muslim, yang diyakini sarat dengan upaya pengebirian hak-hak orang muslim.
Semua peristiwa yang disebutkan di atas bukanlah ilusi atau hanya ada dalam mimpi, melainkan peristiwa riil atau nyata. Semuanya merupakan bentuk pelanggaran atas hak-hak asasi manusia–yang tak lain dan tak bukan adalah sebuah konsep yang dibicarakan orang di mana-mana. Bagaimana kemudian mempertemukan konsep (hak asasi manusia) itu dengan peristiwa nyata (pembunuhan, penahanan di luar prosedur, penyiksaan, kejahatan terhadap wanita dan sebagainya) seperti dalam data-data semacam di atas.
Dimensi Penegakan
Penegakan HAM sebenarnya memiliki dua dimensi: penghormatan dan implementasi norma-norma hak asasi manusia, dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Melalui penghormatan dan implementasi norma-norma HAM, maka negara menjadi bagian dari dan bersama-sama dengan masyarakat dunia lainnya memajukan HAM, melakukan ratifikasi konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia atau menyesuaikan norma-norma hukum positif dengan nilai-nilai universal hak asasi manusia.
Bulan Desember ini, 72 tahun usia Human Rights Day itu (deklarasi 1948). Indonesia sudah meratifikasi enam konvensi, yaitu konvensi hak politik kaum wanita, konvensi antiapartheid dalam olahraga, konvensi hak anak, konvensi antidiskriminasi terhadap wanita, konvensi antipenyiksaan, konvensi antirasial, dan konvensi antipenyiksaan. Indonesia juga sudah meratifikasi dua konvensi yang sangat penting dan merupakan dasar hukum hak asasi manusia internasional, yaitu international covenant on civil and political rights (konvensi hak sipil dan politik), dan international covenant on economic, social, and cultural rights (konvensi hak ekonomi, sosial dan budaya).
Dalam kasus Indonesia, ternyata, sekalipun Indonesia sudah melakukan ratifikasi terhadap berbagai kovensi yang disebutkan di atas, yang dengan demikian berarti norma-norma internasional itu sudah menjadi norma hukum domestik, implementasi norma-norma itu di dalam praktik sehari-hari tetap sangat lemah. Kasus-kasus penyiksaan, diskriminasi terhadap perempuan, pelanggaran terhadap hak-hak anak, yang hakikatnya dilarang dan diproteksi oleh konvensi-konvensi di atas, ternyata terus terjadi, tanpa sepenuhnya (tidak seluruhnya) diiringi dengan penyelesaian secara hukum.
Memang ada beberapa usaha yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi belum memberikan hasil yang maksimal. Karena itu, menjadi sangat penting sebenarnya untuk mendorong pemerintah untuk tidak hanya sekadar meratifikasi konvensi-konvensi internasional HAM, melainkan juga perlu dan harus menegakkan norma-norma konvensi itu di dalam kehidupan sehari-hari. Teramat khusus adalah penghormatan terhadap hak-hak sipil dan politik, yang dirasakan semakin surut dalam beberapa tahun belakangan ini. Setelah 72 tahun, seharusnya bangsa ini melangkah ke arah yang lebih maju dalam perlindungan HAM warga negara terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada.[]
Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Editor : Ihan Nurdin