Oleh Fadhil Mubarak Aisma*
Desember Diah tahun ini tidak sama lagi dengan tahun-tahun yang sudah.
Hujannya adalah yang terparah. Sekali turun tak hanya deras, juga tak berjeda. Mulai pagi hingga siang. Mulai petang hingga malam. Desember kali ini benar-benar tidak bersahabat. Bukan hanya karena hujan yang tak henti-henti, ini juga Desember pertama bagi Diah untuk dilewati sendirian.
Dulu Diah masih punya Wati, anak bungsunya yang mulai beranjak dewasa. Saat Diah bosan, Wati adalah satu-satunya teman bicaranya. Meski pembicaraannya seringkali terasa tawar, tapi Wati cukup menjadi hiburan bagi Diah.
Saat Diah sedang memasak, ia biasanya memanggil-manggil Wati dari dapur untuk menyuruhnya cuci piring. “Wati… Wati heuk…” Diah memanggil setengah membentak. Tapi Wati seringkali abai terhadap panggilan ibunya. Sebenarnya rumah mereka tak luas sama sekali hingga harus berteriak untuk memanggil sesama penghuni rumah. Tapi Wati memang berat tubuh saat sudah bersantai di depan televisi. Tak lama kemudian Wati pun terpaksa memenuhi panggilan Diah ke dapur karena Diah mengancam tak akan memberinya makan siang. Tentu saja Diah tak benar-benar serius dengan ancaman itu. Tapi cukup membuat Wati mau cuci piring.
Umur Wati dan Diah cukup terlampau jauh untuk sebuah hubungan anak-ibu. Wati baru saja beranjak 21 tahun dan Diah empat kali lipat umur Wati. Pantasnya Wati menjadi cucu Diah. Bukan anak. Dan sejak tiga tahun lalu, Wati menjadi satu-satunya anak Diah yang belum menikah. Sejak itu pula, Wati menjadi anak paling Diah sayangi, meski seringkali dimarahi. Pertama, karena ia anak bungsu. Kedua, karena hanya dia anak perempuan Diah. Yang lain, tiga saudaranya, lelaki semua. Sudah menikah dan punya anak. Diah lupa berapa jumlah cucu-cucunya. Diah juga lupa siapa nama istri anak pertamanya. Diah hanya pernah melihatnya sekali. Saat pernikahan. Entah sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Sedang anak kedua beserta istrinya, mereka terakhir berkunjung tiga tahun lalu, saat anak ketiganya, Tayeb, abang Wati, menikah dengan wanita Jawa.
Awalnya, Diah sama sekali tidak merestui Tayeb meminang gadis Jawa. Bukan karena ia rasis, melainkan tidak mau Tayeb mengikuti jejak abang sulungnya yang juga menikah dengan orang Jawa. Nanti pasti ujung-ujungnya pindah ke Jawa. Tinggal di sana. Dan tidak pernah berkunjung. Tayeb juga pada awalnya menuruti ibunya. Tapi karena mahar wanita Aceh mahal-mahal, akhirnya jadi juga ia dengan gadis Jawa. Diah hanya bisa merelakan, karena ia pun tak punya uang.
Tugas Wati sehari-hari sebagai anak perempuan lagi bungsu tidaklah sulit. Ia hanya perlu mencuci piring yang tidak terlalu banyak dan mengangkat pakaian di jemuran kalau ada. Hanya itu. Ia tidak harus memasak, menyapu lantai, mencuci pakaian, membeli keperluan-keperluan, bertani ke sawah, serta segenap pekerjaan rumah tangga lainnya. Semua sudah dilakukan oleh Diah. Namun, karena Wati selalu melambatkan-lambatkan pekerjaannya itu, ia selalu menjadi bual-bualan Diah.
Wati melakukan kesalahan. Diah memarahi Wati. Sejenak kemudian, Wati melakukan kesalahan yang sama. Diah kembali memarahi Wati. Begitu setiap harinya. Hampir sepanjang tahun ini. Setidaknya hingga bulan lalu. Pada November yang terkutuk. Seseorang datang ke rumah. Namanya Brahim, berjenis kelamin lelaki. Meminang Wati yang berjenis kelamin perempuan. Dan penikahan dilangsungkan.
Pada hari itu yang juga hujan meski tak deras, Brahim menjabat erat tangan penghulu yang akan menikahkan Wati. Wati tidak punya seorang pun wali laki-laki yang tinggal dekat rumahnya. Abang-abangnya gaib. Sedang ayahnya meninggal ditelan tsunami pada 2004 lalu. Dan ibunya, Diah hanya bisa tersenyum sambil menangis melihat anaknya yang terakhir, kawan bicara satu-satunya, direbut orang. Pada November yang terkutuk, Diah jadi sendirian.
Desember Diah tahun ini tidak sama lagi dengan tahun-tahun yang sudah.
Dan hujan masih saja mengguyur deras. Tidak reda sudah sejak matahari terbenam. Diah duduk di atas sajadah. Menghadap kiblat. Baru selesai salat. Tangan kanannya bergerak-gerak. Mulutnya mengucap-ucap. Ritual agama yang selalu Diah lakukan tanpa alpa seusai sembahyang. Sekali duduk, sampai lima belas menit lebih beberapa detik. Lalu pada detik berikutnya, Diah sudah beranjak ke pembaringan. Usai salat Isya tidak ada lagi yang harus Diah kerjakan. Ia segera tidur sambil teringat-ingat sawah yang pasti sudah dipenuhi air bak lautan. Juga beberapa tanaman cabai rawit yang seharusnya hampir bisa panen, tapi pasti tidak jadi karena gagal berbuah.
Skenario terburuk pada hujan seperti ini adalah banjir. Saluran air di belakang maupun depan rumah Diah sudah tidak berfungsi dengan baik. Pada musim kemarau, parit-parit itu kering. Pada musim hujan parit-parit itu penuh dengan air. Tapi tidak mengalir. Dan jika hujan seperti ini terus, bisa-bisa airnya yang penuh akan mengalir ke halaman rumah Diah dan kemudian masuk ke rumah Diah yang terlalu rendah, seperti tahun-tahun yang lewat. Dalam pada itu, Diah jadi awas.
Setelah memikirkan semua hal buruk, barulah Diah terlelap di atas ranjang tua itu. Ditemani suara hujan, katak, dan jam dinding. Gyurrr… suara hujan. wrebekk-wrebekk-wrebekk, suara katak. Tik tok tik tok, jam dinding.
Tik tok tik tok. Berdetik.
Tik tok tik tok. Terus berdetik.
Tik tok tik tok. Dan Diah terjaga. Ia melihat jam. Pukul dua tengah malam. Ia melihat ke bawah. Air sudah masuk.
Langsung disambarnya sajadah di lantai yang sudah sempurna basah, diangkat dan ditaruh di atas meja di sudut kamar sempit itu. Lalu berlari ke belakang menuju tumpukan karung gabah hasil panen yang masih tersisa. Dengan sisa tenaga yang masih ada, Diah mencoba mengangkat tiga karung 40 kilogram ke atas peuratah yang tidak lagi digunakan. Susah payah ia berusaha. Nihil hasilnya. Andai masih ada Wati.
Diah meninggalkan tumpukan karung gabah menuju dapur. Ia melepas selang kompor gas dan mengangkat tabung gas elpiji 3 kilogram ke atas meja dapur. Air sudah lewat mata kaki. Dengan cepat ia menyambar ember hitam besar dan berlari ke rak piring. Diah memasukkan semua yang ada di bagian bawah rak. Wajan, panci, dan baskom, lalu mengambil satu lagi ember hitam yang lebih kecil untuk diisi piring-piring yang hanya dipakai saat kenduri. Air terus mengalir.
“Allahurabbi, hana lee…” ucapnya lirih.
Dengan langkah sedikit tertatih dalam air, Diah mengambil ponsel dan menekan nomor Wati. Tuuut… Tuuut… Tuuut… tidak ada jawaban. Diah baru sadar kalau jam sudah menunjukkan pukul tiga. Dan air sudah sampai lutut.
Diah melihat tumpukan karung gabah yang sudah sempurna terendam. “Hana lee, hana lee, Allah ya Tuhan…” Diah berteriak. Sekali lagi ia berusaha mengangkatnya. Memang sudah tak bisa diselamatkan lagi. Air mata Diah mengalir begitu deras. Sama derasnya dengan aliran banjir yang terus memasuki rumah Diah. Baru Diah sadar banjir kali berbeda dengan banjir yang sudah-sudah. Banjir biasa adalah akibat hujan deras yang berhari-hari. Banjir biasa hanya sampai lutut. Banjir biasa tidak mengalir secepat ini. Sedangkan sekarang, air sudah sejajar pinggang. Ini bukan banjir hujan. Pasti ada tanggul sungai yang bobrok.
Saat itu Diah terkejut bahwa yang harus dikhawatirkan bukanlah tiga karung gabah yang terendam, atau piring pesta yang lama tak digunakan, atau pakaian yang sempurna tenggelam. Melainkan nyawa.
Diah berlari dalam air. Menuju pintu keluar. Melewati halaman. Menelusuri jalan. Hanya menatap gulita pekat. Dan air sudah sampai dada. Diah tetap berlari. Menuju jalan raya yang tak kunjung tampak. Diah tetap berlari. Melawan air. Menyebut Rabbi. Memikirkan Wati. Diah tetap berusaha berlari dalam air. Satu langkah. Dua langkah. Andai masih ada Wati. Dan tidak ada langkah ketiga.[]
Santri Dayah Ummul Ayman, Samalanga, Bireuen
Editor : Ihan Nurdin