Oleh Muhajir Juli*
Gerilya politik setidaknya dipelopori oleh beberapa orang politisi, terus dilakukan ke partai pengusung, agar posisi Wakil Gubernur Aceh sisa masa jabatan 2017-2022 tetap kosong. Seribu janji disampaikan agar pengurus parpol terkecoh. Janji itu, apalagi kalau bukan ‘komitmen’bagi – bagi kue APBA 2021 yang hingga kini terus digodok antara eksekutif dan legislatif.
Demikianlah kabar yang berembus kencang di ‘balai – balai peh rantam‘ se antero Aceh. Pun demikian, walau masih kabar angin, tapi terbit dari sumber yang kuat untuk dipercaya. Juga, perilaku tersebut bukan sesuatu yang baru. Apalagi di dunia politik. Seringkali yang leubeh jumôh adalah mereka yang tidak punya andil dalam proses merebut kekuasaan.
Mendengar cerita tentang proses lobi – lobi politik untuk membangun kesepakatan agar Aceh tidak memiliki Wakil Gubernur, saya teringat kalimat dalam bahasa Aceh, bu meuebaje ase meusiluweu, meunyo ke hana le kuasa, aneuk- aneuk ke ditrom lam pageu.
Ikhtiar mewujudkan pemimpin tunggal di Aceh, menurut saya merupakan bentuk pengkhianatan terhadap rakyat Aceh. Karena hanya dengan mengandalkan kemampuan Gubernur Nova Iriansyah, mustahil negeri yang berselemak masalah ini dapat dibangun dengan baik. Track record pembangunan selama ini, lebih dari cukup untuk mengatakan bila ia butuh partner.
Seperti diutarakan oleh Pengamat Ekonomi dari Universitas Syiah Kuala, Dr. Amri, saat ini Aceh menanggung beban yang maha berat. Angka pengangguran yang sangat tinggi, kemiskinan yang bisa dilihat dengan mata telanjang, daya saing manusianya yang lemah, serta ketidakstabilan politik daerah, merupakan bukti kuat bila Nova butuh pendamping. Tidak cukup dengan hanya mengandalkan kalangan ‘internal’ yang bekerja untuk pencitraan.
Partai pengusung yang memiliki mandat mengusulkan calon wakil Gubernur Aceh, jangan memainkan politik mengulur waktu agar misi agen kekuasaan tercapai. Parpol pengusung dari berbagai latar belakang ideologi, harus membuktikan bila mereka juga bukan si puntông meurumpök jaroe yang juga cati. Petinggi partai pengusung harus berhasil meyakinkan rakyat bila mereka bukan golongan pengkhianat yang kehilangan kesadaran karena tergiur pada janji – janji manis yang diberikan, semisal bagi – bagi kue APBA. Parpol pengusung harus mampu bersikap sebagai rumah rakyat, bukan lapak judi.
Para petinggi parpol di Aceh harus melihat pengalaman lalu, bahwa janji manis seringkali berbuah pahit. Bahkan APBA 2021 telah jauh hari direncanakan untuk dipergubkan, adalah bukti paling sahih bila sebenarnya kekuasaan tidak hendak dibagikan. Hanya saja niat itu terganjal di Kemendagri, sehingga RAPBA 2021 kembali dibahas bersama DPRA.
Di pandemi, serta kondisi ekonomi Aceh yang memang selalu sakit sebagai bukti ketidakmampuan pemerintah menghadirkan kesejahteraan untuk rakyat, janji manis adalah oase. Tapi ingat, janji manis keraplaki tidak bermuara ke oase yang dapat menyembuhkan dahaga. Tapi seringkali hanya fatamorgana seumpama kita melihat genangan air di ujung jalan beraspal di tengah terik matahari. Wate ka toe, kahana sapuna. []