Oleh Marthunis, MA*
Pemerintah Aceh tampak sekali gagap dalam mengurusi pandemi. Selama 10 bulan sudah pandemi melanda, hampir tidak ada program konkret yang secara substansial menyentuh kebutuhan masyarakat. Sebaliknya, bentuk program yang diluncurkan hanya berkutat pada aspek seremonial belaka.
Program Gebrak Masker yang diselenggarakan September lalu menuai banyak kritik karena hanya menjadi ajang pemborosan anggaran. Meskipun masker yang dibagikan adalah sumbangan dari Presiden Jokowi, tapi berapa banyak spanduk dan stiker yang dicetak menggunakan APBA. Bahkan para Kepala Sekolah juga diminta menggunakan dana BOS untuk mencetak spanduk dan poster guna berpartisipasi dalam program ini yang malah tidak memiliki daya guna alias mubazir.
Belum lagi ajang pembagian masker tersebut dilaksanakan dengan memobilisasi massa yang notabenenya malah menyalahi protokol kesehatan. Hasilnya, 60% masyarakat menilai kinerja Pemerintah Aceh tergolong buruk dalam menangani pandemi (tirto.id, 03/10/2020).
Kemudian, seakan tidak belajar dari kesalahan sebelumnya, program Gemas (Gerakan Memakai Masker) yang ditujukan bagi guru dan siswa di Aceh juga dilaksanakan dengan bentuk kegiatan yang kurang lebih serupa. Sekda Taqwallah menjadi figur yang cukup vokal dalam program ini.
Kegiatannya hanyalah sekadar membagi masker, spanduk, stiker, lalu didokumentasikan dalam bentuk foto oleh setiap Kepala Sekolah untuk kemudian dikirim dan dilaporkan kepada Sekda Taqwallah.
Program ini tidak lebih hanya bentuk pemborosan anggaran lainnya dan sama sekali tidak menyentuh esensi kebutuhan dunia pendidikan Aceh di masa pandemi. Program tersebut berakhir dengan klaim di berbagai media dengan angka-angka statistik yang fantastis bahwa sekitar satu jutaan siswa/i di Aceh secara serentak memakai masker untuk memutus mata rantai penyebaran Corona.
Klaim ini lagi-lagi hanya ada di atas kertas. Sekda Taqwallah bisa mengecek lansung di lapangan berapa banyak siswa, guru, dan sekolah di Aceh yang menerapkan protokol kesehatan dengan ketat dan benar dalam proses pembelajaran tatap muka.
Jika benar Sekda Taqwallah konsen terhadap dunia pendidikan, kemudian khawatir terhadap klaster penyebaran corona berasal dari sekolah, kenapa Pemerintah Aceh tidak memfasilitasi swab gratis kepada guru dan siswa di Aceh untuk memetakan seberapa banyak sebenarnya sekolah yang sudah layak dibuka dan belum untuk proses belajar tatap muka.
Sebagai pembanding, Pemerintah Kota Surabaya memberlakukan swab massal secara gratis kepada seluruh guru, staf sekolah dan siswa sebagai upaya persiapan proses belajar tatap muka. Di tahun 2020 ini, dari 10,3 triliun APBD Kota Surabaya, 21% diantaranya dialokasikan untuk dunia pendidikan (Surabaya.go.id, 10/11/2019). Hal ini secara konkret menunjukkan betapa Pemkot Surabaya peduli betul terhadap pendidikan melihat dari pos anggaran daerahnya.
Jika pun APBA 2020 yang nilainya 17 triliun lebih itu dirasa tidak akan cukup untuk membiayai swab massal gratis kepada seluruh guru dan siswa di Aceh, Sekda Taqwallah dapat membangun komunikasi dan koordinasi dengan para bupati/walikota untuk melakukan cost sharing APBA- APBK untuk memfasilitasi swab tersebut.
Namun hingga saat ini, rasanya masih jauh panggang dari api. Jangankan swab gratis, inisiasi untuk memfasilitasi dunia pendidikan Aceh dengan rapid test saja sebagai medium screening corona tidak pernah terdengar.
Belum lagi baru-baru ini Sekda Taqwallah meminta kepala sekolah dan guru untuk melakukan video conference dengan berada di sekolah masing-masing pada saat libur sekolah. Sepertinya Sekda Taqwallah masih menggunakan mindset lama untuk menghadapi situasi yang benar-benar berbeda di tengah pandemi. Saya juga merasa gagal memahami esensi dari permintaan tersebut.
Esensi hadirnya video conference di tengah pandemi ini adalah untuk memastikan jarak dan tempat bukan lagi persoalan karena setiap orang saat ini dapat menghadiri pertemuan di mana pun mereka berada secara real time.
Belakangan, sejak Taqwallah menjabat sebagai Sekda Aceh, perhatian seorang Sekda terhadap dunia pendidikan terlihat cukup intens kalaupun tidak ingin menyebutnya berlebihan. Bahkan lebih sering terkesan melampaui tugas pokok dan fungsinya sebagai seorang Sekda.
Sesuai dengan Qanun Nomor 13 Tahun 2016, Tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Aceh, dalam Pasal 3 ayat 3 disebutkan bahwa Setda Aceh mempunyai tugas membantu gubernur dalam penyusunan kebijakan dan pengoordinasian administratif terhadap pelaksanaan tugas perangkat Aceh serta pelayanan administratif.
Sekda Aceh pada dasarnya dapat berkoordinasi dengan Kepala Dinas Pendidikan dan segenap perangkatnya untuk mengevaluasi performa dunia pendidikan Aceh. Saya sependapat dengan kolega saya, Zubir Agam (Kepala SMA Sukma Bangsa Lhokseumawe) dalam status FB-nya yang mengkritik Sekda Taqwallah yang terlalu merepotkan diri untuk bersentuhan lansung dengan para guru dalam banyak hal.
Hal ini hanya mengisyaratkan bahwa Sekda Taqwallah tidak memercayai Kadisdik dan segenap perangkatnya dalam menjalankan tugas dan fungsi monitoring dan evaluasi kinerja pendidikan di Aceh. Tentu saja hal ini aneh mengingat mereka ditunjuk atau direkomendasikan oleh orang-orang di lingkaran Sekda atau malah Sekda Taqwa sendiri.
Jika memang Sekda Taqwallah benar-benar sangat peduli dengan pendidikan di Aceh dan tidak ingin melihat peringkat pendidikan Aceh bercokol di posisi paling rendah, tidak perlu seorang Sekda repot-repot mengabsen kehadiran guru satu persatu via video conference. Sebagai ketua TAPA (Tim Anggaran Pemerintah Aceh) perbaiki saja pos APBA yang dialokasikan untuk pendidikan dengan menempatkan banyak program konkret yang dapat membantu dan menolong para guru untuk meningkatkan kesjahteraan dan kapasitas profesionalisme mereka. Apalagi di masa pandemi ini yang memberikan banyak sekali kesulitan bagi para guru dalam menggawangi poses belajar mengajar.
Seandainya Sekda Taqwallah menuntut banyak hal dari guru, sah saja asalkan dibarengi dengan bantuan yang sama imbangnya untuk diberikan kepada para guru.
Faktanya hingga pertengahan Desember ini realisasi APBA 2020 masih saja berkisar 66,7 persen (Beritakini.co,12/12/2020). Hal ini yang seharusnya menjadi konsen serius seorang Sekda Taqwa. Lalu, bagaimana kami para guru dapat berharap banyak pendidikan di Aceh dapat meningkat secara signifikan melalui manuver-manuver seorang Sekda Taqwallah?
*)Penulis adalah guru dan Direktur Sukma Bangsa Pidie. Alumnus Master in Teacher Education, University of Tampere, Finland.