Oleh Zahrul Fuadi, S. Pd. I*
Sampai kapanpun pendidikan masih berperan penting dalam kemajuan sebuah negeri. Bagaimana tidak, sebut saja misalnya negara Selandia Baru. Dilansir dari situs I Can Education Consultant, berdasarkan indeks pendidikan yang diumumkan oleh Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia) PBB tahun 2008 lalu, Selandia Baru menempati peringkat tertinggi bersama beberapa negara lainnya, seperti Denmark, Finlandia, dan Australia. Salah satu kunci kesuksesannya dikarenakan pendidikan wajib di negara tersebut diberikan kepada anak usia 6 hingga 16 tahun secara cuma-cuma.
Namun demikian kita janganlah berkecil hati, dilansir dari situs nasional Badan Pusat Statistik (BPS) data yang sudah tercatat di lapangan sampai dengan tahun 2019, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sudah mencapai 71,92. Angka tersebut sudah terbilang cukup fantastis. Hal ini dikarenakan pembangunan manusia menurut standar United Nations Development Program (UNDP), terdiri dari 4 kriteria, yaitu IPM > 80 kategori sangat tinggi, IPM 70-79 kategori tinggi. serta IPM 60-79 kategori sedang. Untuk itu IPM Indonesia 2019 di atas 70 tersebut mengindikasikan bahwa pembangunan manusia Indonesia masuk kategori tinggi.
Beranjak dari data tersebut, di sini penulis mencoba untuk mengajak para pembaca khususnya guru, untuk terus mengasah dan mengembangkan potensi dirinya agar menjadi guru pembelajaran yang relevan dengan perkembangan zaman sekarang ini, baik itu teknologi ataupun SDM itu sendiri, agar pendidikan di Indonesia ini terus maju dan berkembang. Hemat penulis penyebab pendidikan di Indonesia masih slow motion dalam kemajuannya, dikarenakan esensi dari makna pendidikan itu sendiri masih kabur bagi sebagian pendidik. Zaman boleh berubah, manusia boleh terus berevolusi menjadi lebih cerdas, namun tujuan dan esensi dari mendidik itu masih sama dari masa ke masa yaitu membina kepribadian sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaannya. Semua pendidik wajib mengetahui arti dari mendidik yang sebenarnya. Karena dewasa ini masih ada sebagian guru dan orang tua yang masih belum begitu paham dengan konsep pendidikan yang sebenarnya.
Fakta ini diperkuat dengan pemahaman orang tua yang kerap kali mengatakan pendidikan itu hanya di sekolah dan hanya menjadi tanggung jawab guru semata. Pernyataan tersebut sering kali dilontarkan selama proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berlangsung. Ada beberapa alasan yang mandasari para orang tua masih berasumsi demikian. Akan tetapi kalau kita melihat makna dari pendidikan itu sendiri bukanlah asal mengajarkan suatu pengetahuan dan melalui serangkaian evaluasi hingga mendapatkan skor tinggi dan pembelajaran dianggap berakhir/tuntas.
Hal ini diperparah dengan asumsi orang tua lagi memburu status rangking pertama di kelas yang merupakan tuntutan orang tua kepada anak ketika belajar yang pada akhirnya semakin membuat peserta didik terkekang. Tak sedikit kita lihat sekarang ini di saat pandemi merajalela semakin banyak orang tua mengejar ketertinggalan anak dengan mengikutkan mereka kepada les tambahan atau bimbingan lain di luar dari waktu sekolah. Bahkan tidak jarang juga kita temukan guru sendiri yang mengatakan jika tidak paham dengan pelajaran di sekolah, peserta didik bisa mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah.
Pola belajar yang seperti ini membuat anak mengalami kelelahan jiwa. Seperti kata Psikolog Hellen Damayanti dikutip Republika, ia mengatakan bahwa berdasarkan hasil survei, menyebutkan 44 persen pelajar merasa stres menghadapi ujian dan tugas. Menurutnya tingkat stres remaja menjelang Ujian Nasional sangat tinggi, sedangkan 12 persen diliputi kegalauan akibat rasa takut tidak naik kelas.
Inilah yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara dalam bukunya yang berjudul “60 Tahun Taman Siswa” bahwa kelemahan para pemuda dan anak-anak dalam belajar adalah karena adanya tuntutan besar pada ujian yang harus dijalani. Hal ini menyebabkan suasana belajar menjadi kurang tentram dan kondusif. Oleh karena itu sedikit penulis berikan gambaran tentang makna yang sebernarnya tentang pendidikan.
Istilah pendidikan dalam bahasa Arab disebut tarbiyah yang artinya memelihara, mengurus, membimbing, dan mendidik, baik fisik maupun akal dan jiwa yang dilakukan secara berkelanjutan sehingga anak didik bisa dewasa dan mandiri untuk hidup di tengah masyarakat. (At-Thabari, 67).
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah suatu upaya untuk menumbuhkan budi pekerti, pikiran maupun jasmani anak, membina karakter dan pikiran agar peserta didik mampu menyesuaikan kehidupan dunianya. Lebih lanjut Ki Hajar Dewantara mengatakan pendidikan itu perlu memperhatikan beberapa aspek penting, salah satunya adalah aspek budaya atau adat isitiadat. Pendidikan akan melahirkan insan berbudi pekerti luhur yang tidak menyalahi adat istiadat yang ada, serta melahirkan adat baru yang tidak bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat itu sendiri.
Lebih rinci lagi dalam buku “Higher Education For America Democracy” disebutkan bahwa pendidikan adalah suatu lembaga dalam tiap-tiap masyarakat yang beradab, tetapi tujuan pendidikan tidaklah sama dalam setiap masyarakat. Sistem pendidikan suatu masyarakat (bangsa) dan tujuan-tujuan pendidikannya didasarkan atas prinsip-prinsip (nilai) cita-cita dan filsafat yang berlaku dalam suatu masyarakat (bangsa). Terakhir, Richy dalam buku “Planing for Teaching and Introduction to Education, mengutarakan makna pendidikan lebih luas. Richy mengatakan pendidikan adalah suatu usaha pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu bangsa (masyarakat) terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi muda) untuk memiliki kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana dengan baik oleh pendidik kepada peserta didik untuk menggali potensi, membentuk karakter dan budi pekerti, sehingga diterima oleh masyarakat di manapun mereka berada. Dalam hal ini juga mendidik itu bukan hanya saja dilakukan oleh guru di sekolah-sekolah formal. Akan tetapi orang tua yang merupakan pendidikan utama, keluarga, orang lainpun juga bisa dikatakan sebagai pendidik. Jika para pendidik sudah melakukan tugasnya sebagaimana tujuan dari pendidikan yang sebenarnya, maka cepat atau lambat pendidikan di Indonesia menjadi lebih bermartabat, maju, dan berkembang bahkan jauh dari beberapa negara-negara lain. Semoga!
*)Guru Pendidikan Agama Islam SD Sukma Bangsa Pidie. Penulis mempunyai hobi menonton dan memabaca. Seorang youtuber dan blogger. Suka mengedit foto dan juga video.