ACEHTREND.COM,Subulussalam- Baina tidak pernah menyesal dilahirkan dari keluarga miskin. Tapi ketidakmapanan ekonomi telah membuat dirinya ikut terpuruk. Walau cerdas, tapi dia hanya dapat mencapai SMA saja. Tidak ada uang untuk melanjutkan kuliah.
Kisah perjalanan hidup perempuan berusia 22 tahun itu terungkap ketika tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) menyambangi gubuk berbentuk panggung yang ditempati Baina dan abangnya bernama Sapudin (23), lelaki tunagrahita dan mengalami keterbelakangan mental, walau tidak parah.
Gubuk tempat mereka berteduh dibangun oleh mendiang ayah mereka 20 tahun lalu di tepi sungai Lae Soraya, Desa Bulukur, Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalam. Jarak antara sungai dan gubuk hanya 20 meter.
Gubuk itu, walau berbentuk panggung, tetap saja tidak dapat menghindari luapan air sungai bila musim hujan tiba. Pun demikian, tiap kali digenangi air, Baina dan Sapudin hanya mengungsikan diri, tanpa perlu bersusah payah memindahkan barang.
“Tidak ada yang perlu diselamatkan. Semuanya tidak bernilai ekonomi. Tak ada barang berharga di rumah kami,” kata Baina, Senin (28/12/2020).
Gubuk tersebut saat ini sudah terlihat renta. Atapnya bolong dan fondasinya rapuh. Bila hujan, air akan merembes ke dalam. Demikian juga jikalau angin kencang menerpa, akan bergoyang.
Sebelum ayahnya meninggal dunia, ujian hidup tidaklah terlampau harus Baina tanggung. Duda itu lelaki mandiri. Walau bekerja mencari belut di sungai setiap pagi, sebelum berangkat dia memasak dan mencuci. Dia ingin puterinya fokus pada pelajarannya di sekolah.
Dukungan semangat dari sang ayah, membuat Baina bersinar di sekolah. Dia selalu masuk lima besar siswa berprestasi di kelasnya. Oleh karena kemampuannya itu dia mendapatkan beasiswa di SMA.
“Sebelumnya saya sempat di pesantren. Tapi karena tak sanggup secara keuangan, akhirnya pindah ke SMA,” kenang Baina.
Ayahnya meninggal di tempat tidur. Hari itu, setelah pulang dari berburu belut, lelaki itu masuk ke gubuk dan merebahkan punggung. Tidak lama kemudian tertidur pulas. Tapi kali ini tidak kunjung bangun. Baina membangunkan ayahnya. Dia terlejut ketika melihat sang pahlawan telah berpulang ke haribaan Ilahi.
Sepeninggal sang ayah, Baina menjadi kepala keluarga. Dia bekerja di rumah tetangga dengan upah Rp600.000 sampai Rp700.000 per bulan. Tapi itu tidak berlangsung lama. Kesehatan mental abangnya tidak kunjung pulih. Terpaksalah dia menetap di gubuk, menjaga sang abang.
“Saya takut abang lari dari kampung. Atau akan memukul anak – anak yang sering usil mengganggunya. Saya juga khawatir dia akan mandi ke sungai,” kata Baina.
Kepala Cabang ACT Aceh Lisdayanti, mengajak masyarakat mendukung dan mendoakan agar Baina memiliki rumah layak huni dan memberikan modal usaha kepada Baina. “Insyaallah, uluran tangan kita sangat berarti bagi mereka,” ucapnya, Senin, (28/12/2020).
“Rumah Baina tanpa sekat, hanya satu ruangan menjadi semua pusat aktifitas. Rumah kayu berusia 20 tahun itu mulai difungsikan sebagai ruang makan, ruang tidur, dan ruang tamu,” lanjutnya.
Pada malam hari, rumah Baina hanya disinari 1 buah lampu penerang. Fasilitas listrik pra bayar pun dapat tersedia melalui bantuan dermawan. Terkadang rumah mereka gelap gulita. Baina tidak sanggup membeli token listrik hanya untuk menghidupkan sebuah lampu.
“Ketika ayahnya masih hidup, Baina sering tidur di rumah bibinya di samping rumah mereka. Ia risih kalau tidur bertiga dengan ayah dan abangnya,” imbuhnya.
Setelah ayanya meninggal, beberapa waktu lamanya Baina dan abangnya menetap di rumah bibinya. Namun kemudian mereka kembali lagi ke rumah agar tidak menjadi beban. Baina mengambil posisi sebagai kepala keluarga.
Kini Baina dan abangnya tinggal di kediaman mereka. Sesekali mereka tidur di rumah pamannya karena Baina merasa risih tidur dengan abangnya sendiri dalam satu ruangan.
Tidak ada warisan peninggalan sang ayah kecuali rumah itu. Ayah Baina sendiri semasa hidup bekerja sebagai pencari belut mulai dari pukul 7 pagi sampai pukul 1 siang. Dalam 2 minggu, ia hanya bisa mendapatkan 2 hingga 4 kg yang dijual di Pasar Rundeng ketika hari pajak dengan harga per 1 kilogram Rp 35.000 – 45.000.
“Biaya hidup mereka sementara ditanggung pamannya dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Kadang-kadang tetangga Baina ikut serta mengulurkan kepeduliannya,” terangnya.
Selain bermimpi punya rumah layak huni, Baina juga berhajat memiliki kios kelontong. Dengan memiliki usaha, dia bisa mandiri, sembari merawat abangnya yang sakit.
“Dia berharap demikian. Semoga kita semua dapat mengulurkan tangan,” kata Lisdayanti.
Bagi Anda yang ingin membantu, dapat mengirimkan donasi melalui rekening Bank Aceh Syariah 01001930009205, BNI Syariah 6600011008, atau Mandiri Syariah 708978602. Konfirmasi donasi via pesan ke Instagram @act_aceh, WhatsApp 082283269008, atau telepon 0651-7315352.[]