ACEHTREND.COM,Banda Aceh-Pakar Ekonomi dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Dr. Amri, SE,M.Si, mengatakan masih banyak hal yang harus dibenahi pasca pelaksanaan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 208 tentang Lembaga Keuangan Syariah. Di tataran implementasi, kelahiran qanun tersebut justru menimbulkan polemik.
Dalam Publik Review Menelaah Aspek Yuridis Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah, yang digelar di hotel Kryad Muraya, Banda Aceh, Rabu (30/12/2020) Amri mengatakan dia adalah orang yang sedari dulu mendukung perbankan syariah di Indonesia. Sejak tahun 2008, dirinya sudah membuka rekening di salah satu bank syariah yang membuka cabang di ibukota Provinsi Aceh.
Akan tetapi, dalam pelaksanaan Qanun LKS, tidak serta merta dapat lihat dari persoalan mikro. Banyak hal yang sepatutnya dijadikan rujukan, sebelum implementasi dilaksanakan. “Letak persoalan Qanun LKS adalah di implementasi yang membuat banyak orang kelimpungan. Peralihan dari perbankan konvensional ke syariah, justru menggerus konvensional, yang sampai saat ini masih digunakan oleh orang di berbagai belahan dunia,” ujar Amri.
Menurut Amri, dengan segenap masalah yang melilit implementasi Qanun LKS, seharusnya Pemerintah Aceh cepat mengambil jalan keluar. Termasuk efek penutupan bank konvensional yang akhirnya telah melahirkan penangguran baru. Padahal semangat awal lahirnya unit -unit syariat di Aceh, untuk memperluas lapangan kerja.
Jebolan Graduate Research Institute for Policy Studies (GRIPS) Tokyo, Jepang, itu mengatakan, uang adalah urat nadi ekonomi. Para pebisnis Aceh yang selama ini terhubung dengan rekannya di luar, mengalami kendala dalam transaksi. Masalah ini, bila tidak cepat diantisipasi, justru akan merugikan Aceh. Tidak tertutup kemungkinan dalam waktu tidak lama lagi, perbankan di Sumut akan mempermudah pelaku bisnis di Aceh, agar mereka bersedia membuka rekening di sana.
Amri menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke Mekkah. Di sana, perbankan konvensional internasional juga membuka kantor cabang. Hal serupa seharusnya juga dilakukan di Aceh.
“Menurut saya, konsep ideal adalah, perbankan syariah digalakkan, konvensional jangan diusir. Karena secara ekonomi kita membutuhkan orang lain. Sehingga fasilitas harus disediakan. Anggap saja bahwa yang akan berkunjung ke Aceh adalah wisatawan muslim dari mancanegara. Tapi mereka menggunakan layanan bank konvensional. Ketika tiba di Aceh, mereka akan terkendala. Demikian juga dalam sektor bisnis di luar pariwisata. Intinya kita butuh sistem perbankan yang akomodatif dan dapat melayani semua orang. Karena ekonomi Aceh bukan sebatas Sabang-Tamiang,” imbuhnya.