ACEHTREND.COM, Lhokseumawe- Dengan modal Rp500.000, pada tahun 2010, Faisal (32) memulai usaha kerajinan tas motif Aceh. Mulai motif pinto Aceh, rencong hingga kupiah meukeutôp. Kini, dari bisnis tersebut ia berhasil meraup omzet Rp50 juta perbulan.
Ketika disambangi aceHTrend.com, Sabtu (26/12/2020) lelaki yang beralamat di Gampông Ulee Madon, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, terlihat santai. Ia sedang rehat di garasi rumahnya, yang disulap menjadi tempat produksi tas bermotif etnik Aceh. Belasan karyawan yang ia pekerjakan, sibuk menyulam tas yang semakin hari bertambah banyak diminati oleh konsumen dari berbagai daerah di Indonesia.
Walau berjumlah 30 orang, tidak semua pekerja menjadikan garasi itu sebagai tempat produksi. Ada yang mengerjakannya di rumah masing – masing.
Sebelum terjun ke bisnis tersebut, awalnya Faisal bekerja di tempat lain, sembari belajar bisnis. Merasa cukup banyak menimba ilmu, dia memutuskan memulai bisnis secara mandiri pada tahun 2010.
Bagi Faisal, bisnis kerajinan tas merupakan usaha turun – temurun yang dirintis oleh neneknya. “Usaha yang saya geluti sekarang, juga dilakukan oleh nenek saya. Jadi, saya meneruskannya saja. Pun demikian saya turut belajar bisnis ini di tempat lain sembari bekerja. Alhamdulillah, saat ini saya bisa memberdayakan 30 pengrajin yang merupakan tetangga sendiri,” ujar Faisal sembari tersenyum.
Pada tahun 2010, bermodal Rp500.000 dan dibantu tiga pekerja, dia mulai berdikari. Usaha itu berkembang secara perlahan. Kini, omzetnya mencapai Rp50 juta per bulan.
Dalam sehari, Faisal mengatakan bisa memproduksi 150 tas. Pesanan itu tembus ke pasar nasional seperti Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimatan. Juga tembus ke sejumlah negara di Asia Tenggara.
Faisal mengakui dirinya bersama pengrajin sering lembur kala banyak pesanan.
Untuk mengirim produksi tas bermotif Aceh ke luar Serambi Mekkah, Faisal memilih PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE). Ia memilih layanan Oke dan Reguler. Selain harga pengiriman yang sangat murah, proses pengiriman sampai pun sangat cepat.
“Selama saya menggunakan jasa pengiriman JNE. Hingga kini belum ada pelanggan saya yang protes. Bahkan ada yang mengakui sangat puas dengan barang yang diterima,” kata Faisal.
Pemuda klimis ini menyebutkan volume produksi sempat turun awal Covid-19 mulai merebak. Tetapi tidak signifikan. Sekarang usaha tersebut kembali normal.
“Di awal pandemi Covid-19, sekitar satu bulan, pesanan sempat berkurang. Tapi tidak signifikan. Sekarang sudah normal kembali seiring perjalanan waktu. Proses pengiriman juga tidak mengalami kendala. JNE benar – benar profesional.
Supervisor JNE Lhokseumawe, Welly menyebutkan, selama ini pihaknya bekerjasama dengan sejumlah Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) untuk pengiriman barang. Sebelum dikirim ke tujuan, paket dikirim ke Banda Aceh, selanjutnya didistribusikan ke seluruh penjuru tanah air.
Di era digital, sambung Welly, pengiriman paket melalui e-commerce antar kota, antar provinsi dan dari luar negeri, meningkat. Di tengah pandemi Covid-19 pengiriman barang melonjak pada online shopping. Pengiriman paket yang diterima JNE mengalami peningkatan dari negara Republik Rakyat Cina.
Welly menuturkan bisnis jasa kurir tak terpengaruh pandemi virus Covid-19 yang melanda Indonesia.
“Dalam sehari kami melayani jasa pengiriman minimal 20 paket. Bisnis ini tak terpengaruh pandemi virus Covid-19 yang melanda Indonesia,” terang Welly.
Yakni Sampai Tujuan
PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) dapat memastikan setiap barang yang diterima pihaknya akan sampai ke rumah dalam waktu tiga hari. Misalnya, paket yang sudah tiba di Kota Lhokseumawe dapat dipastikan diterima pemilik dengan tempo tiga hari. Demikian juga untuk daerah lain, termasuk Papua.
Welly menuturkan setiap paket yang masuk, petugas langsung mengantar paket tersebut ke tempat tujuannya. Kadang diantar pada hari pertama. Kendala tentu ada. Misalkan, barang sudah sampai, tapi pemilik barang tidak berada di rumah, dan saat dihubungi melalui telepon, nomornya tidak aktif. Sampai tiga hari petugas terus menghubungi pemiliknya, sampai nomornya aktif. “Intinya barang wajib sampai ke pemiliknya.”
Bila dalam tiga hari itu tetap tidak bisa dihubungi, di sistem JNE akan ditulis barang disimpan di kantor cabang terdekat. Petugas akan mengirim pesan dan memberi tahu kepada pemiliknya untuk mendatangi kantor JNE terdekat.
Sementara untuk alamat tujuan seperti kantor pemerintah dan swasta, sangat tergantung hari kerja. “Misal barangnya tiba di kantor JNE pada hari Jumat. paket itu baru antar Senin, karena Sabtu dan Minggu hari libur,” katanya.
“Jika masyarakat ingin melacak paket sudah sampai di mana, bisa mengecek melalui aplikasi milik JNE dengan memasukan nomor resi pengiriman,” ujarnya.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Malikussaleh, Aceh Utara, Ayi Jufridar, menyebutkan bisnis digital menjadi penopang ekonomi usaha mikro di tanah air. Layanan antar barang dengan jaminan sampai tujuan dengan selamat sangat menguntungkan pelaku usaha.
“JNE memiliki rekam jejak bagus untuk melayani jasa antar barang. Mereka juga menyesuaikan diri dengan digitalisasi. Sehingga, UMKM bisa mudah mengakses dan kirim barang. Terpenting sistem yang dibangun JNE mudah dan murah plus pasti sampai tujuan,” kata Ayi.
Peneliti bisnis digital ini menyebutkan, kelemahan UMKM selama ini bukan lagi pada kemasan dan kualitas. Namun, kelemahan UMKM sekarang pada pengiriman barang yang aman dan nyaman.
“Kalau promosi, kehadiran media sosial memudahkan UMKM untuk promosi gratis. Masalahnya di proses pengiriman, bisa jadi barang rusak sampai tujuan. Nah, di situ letak keunggulan JNE,” katanya.
Dia berharap, bisnis digital JNE semakin dekat ke masyarakat, memperbanyak agen dan sub agen di tingkat kecamatan. Sehingga, UMKM di Aceh tumbuh dan mampu menjangkau seluruh penjuru tanah air dengan sekali klik dari genggaman handphone.