Oleh Muhajir Juli*
Bagaimana saya harus menarasikan Aceh saat ini? Negeri kaya yang memiliki sejarah gilang gemilang? Tentu hal tersebut sudah menjadi pengetahuan umum. Sejarah penuh kegemilangan adalah masa lalu Aceh, seperti kita membicarakan keunggulan peradaban kekhalifahan Islam di masa lampau. Walau seharusnya tetap menjadi patron. Akan tetapi semua itu sekarang ini sekadar jadi cerita semata.
Aceh negeri yang kaya. Itu bukan isapan jempol. Lebih tepatnya kaya sumber daya alam, yang hingga saat ini terus dibicarakan di berbagai forum politik dan ekonomi. Kekayaan yang membuat kita boleh berbangga, dan turut menjadikan Aceh dicatat di dalam berbagai buku dan artikel. Baik di Aceh, maupun di dunia internasional. Catatan tersebut berasal dari masa lalu dan sekarang. Juga di masa depan, Insyaallah.
Tapi, mengapa rakyat Aceh tetap miskin? Adakah kekayaan alam yang melimpah berupa kutukan? Bila benar sebagai kutukan, mengapa SDA Aceh justru menjadi dapur umum untuk menghidupkan denyut nadi Republik Indonesia, di masa lalu?
Aceh adalah daerah yang dalam sirahnya terus bergolak. Perang seakan memiliki jadwal yang telah disiapkan, yang diawali dari isu agama, identitas lokal, hingga ketidakadilan ekonomi. Dari perang ke perang, dari damai ke damai, rakyat Aceh tetap dalam persoalan klasiknya: miskin dan SDM-nya lemah.
Misal, setelah damai antara GAM dan RI terajut di Aceh dan usianya sudah berjalan 16 tahun, mengapa Aceh tetap miskin? Tetap riuh dengan isu – isu yang melahirkan perpecahan di antara rakyat. Padahal uang melimpah dikirim ke Serambi Mekkah. Program ekonomi bejibun banyaknya, yang kalau dihitung, dapat menyambungkan Aceh dengan Eropa.
Dalam pandangan saya, Aceh yang mendeklarasikan diri sebagai daerah bersyariat, dan itu telah diimplementasikan dalam berbagai qanun, belum mampu menyatukan Aceh dalam satu rasa, yang mempertemukan kita semua dalam bingkai harmoni. Aceh belum menemukan cinta. Atau kita telah kehilangan cinta untuk Aceh?
Kita kehilangan banyak momentum, karena rakyat yang mayoritas memiliki SDM yang kurang bersaing di tataran regional, terus direcoki dengan asupan – asupan negatif. Sementara itu, birokrasi kita korup dan politik yang diejawantahkan oleh parpol, juga bekerja memperkaya personal.
Kita hingga saat ini belum menemukan satu tokoh pun dan kendaraan politiknya, yang benar – benar bekerja atas nama cinta. Semuanya bicara perihal kuasa yang dibalut dalam narasi religius, namun penuh tipuan.
Saya secara pribadi tidak lagi berharap Aceh akan berubah di tangan mereka yang telah populer sebagai pemimpin di Aceh. Mereka itu, populis tapi tidak memiliki kemampuan bahkan bisa jadi tidak memiliki kemauan melakukan tindakan nyata membangun fondasi Aceh yang kuat. Mengapa begitu banyak rakyat yang saat ini lari ke dunia narkoba dan bandarnya menjadi populer di kalangan rakyat, ya karena toke sabu justru memiliki ‘visi’yang lebih jelas dan misi nyata menyelesaikan problem di kalangan rakyat yang terimpit kemiskinan. Na but na peng. Demikian filosofi yang dimiliki oleh grub narkoba. Hasilnya? Sekalipun salah, bisnis haram itu bertumbuh subur dari tahun ke tahun. Tidak sedikit pula mereka yang memiliki mandat sebagai pemimpin, ikut terjerumus ke dalamnya.
Lalu, apa yang harus kita lakukan? Entahlah. Karena telah begitu banyak ide disampaikan, tapi akhirnya menguap begitu saja di udara yang telah penuh polusi kebohongan. Haruskah kita mengulang perang agar kesejahteraan hadir dan bermesra dengan kita semua? Perang bukan jawaban. Karena perang hanya akan menghadirkan kehancuran. Kita butuh sesuatu yang luar biasa. Apa itu? Cinta!
*)Penulis adalah jurnalis dan mahasiswa pascasarjana UIN Ar-Raniry.