Oleh Zulfadli Kawom*
Judul di atas merupakan pameo yang sering diucapkan oleh orang-orang pantai timur dari Samalanga sampai Panton Labu yang meliputi tiga kabupaten: Bireuen, Lhokseumawe dan Aceh Utara. Mungkin awalnyan istilah ini ditunjukan pada kelompok seudati yang sering ikut tunang (tanding). Saat itu, tunang Seudati sangat sering diadakan di wilayah tersebut. Saman adalah sebutan untuk seudati di wilayah tersebut, walaupun ia bagian dari babakan seudati yang sering disebut di Pidie. Namun, dalam perjalanannya, kalimat tersebut digunakan untuk hal – hal lain seperti kalah dalam strategi atau taktik dalam dagang dan politik. Lheuh keu saman gop atau rhët saman tanyoe, yang awalnya digunakan sebagai ungkapan kekecewaan yang ditujukan kepada grup saman atau seudati yang mewakili kampung atau wilayah untuk beraksi di panggung atau seung tunang, namua gagal meraih simpati dari pendukung atau penonton secara umum, lebih baik penampilan pihak lawan atau grup lain.
Beberapa kali saya menjumpai istilah tersebut dari para tetua di daerah kami, digunakan untuk maksud yang lain seperti saya jelskan di atas.
Misalnya beberapa kali Legislatif Aceh (DPRA) gagal menginterpelasi eksekutif. Kasus lheuh keu saman gop alias rhët saman tanyoe juga baru saja terjadi, di mana dana pokir dipangkas oleh Mendagri. Tentunya hal tersebut berimbas pada kekecewaan para pendukung. Anggota DPRA dianggap gagal memperjuangkan aspirasi mereka lewat pintu legislatif. Terutama partai lokal yang masih mendominasi kursi DPRA. Terutama Partai Aceh, yang mana awalnya adalah Gerakan Aceh Aceh Merdeka (GAM) yang bermetomorfosi menjadi partai. Sudah tiga kali mereka dipercaya untuk mewakili aspirasi masyarakat, namun nampaknya terus saja lheuh keu saman gop. Mungkin saja, kekurangan sumber daya manusia, bisa jadi juga kurangnya jam terbang dalam politik praktis, hingga mudah dilabô oleh pihak lain yang terlatih dan memiliki dana yang banyak.
Untuk memiilih pemimpin (syeh) saman atau seudati harus memenuhi beberapa kriteria. Pertama, berwawasan luas. Kedua, Berpenampilan menarik. Ketiga, berwibawa dan bijaksana. Keempat, gesit dan selalu ceria. Kelima, Percaya diri, cerdik dan pintar. Keenam, suara jelas dan bagus. Ketujuh, suara petikan jari besar. Kedelapan, suara tepuk dada besar. Kesembilan, mampu beradaptasi dan memiliki spontanitas. Kesepuluh, mempunyai lengkok dan karakter tersendiri .
Menurut Almarhum Syeh Lah Geunta, maestro seudati dari Bireuen, peran penting seorang syeh tidak akan lepas dari kepiawaiannya membawa tim untuk menari secara spontan selain juga “jam terbang” syeh itu. Syarat mejadi syeh seudati saja seperti itu, konon lagi menjadi pemimpin atau mewakili rakyat.
Terlepas dari alasan apapun, bôh PA, bôh PNA, PDA atawa parnas, mandum keunöng gapu. Kön lé sigö, tapi ka meugögö. Kutru!
*)Penulis adalah budayawan, dan tukang peh rantam bak panteu jaga di wate prang dile.