Oleh Liza Faradilla, S.Pd*
Jauh sebelum diberlakukan kebijakan lockdown karena pandemi Covid-19, saat kita melintasi sebuah perdesaan, kita akan bertemu remaja yang berkerumunan di sebuah warung kopi atau duduk santai di atas pohon yang tinggi. Kita disuguhi pemandangan anak-anak yang memegang smartphone bermain game online atau menelusuri akun sosialnya–hal-hal normal yang seharusnya bisa dilakukan di rumah sendiri. Tetapi bagi anak anak ini, kegiatan seperti ini lebih dari sekadar kebutuhan. Seringkali, ini adalah satu-satunya tempat di mana mereka memperoleh sinyal koneksi internet yang layak.
Adegan seperti itu mengingatkan saya pada nasib para karakter dalam film Korea, Parasite. Film yang meraih penghargaan oscar untuk kategori Best picture. Film ini bercerita tentang dua saudara kandung yang putus asa untuk mengakses Wi-Fi gratis setelah layanan internet mereka terputus. Mereka rela berdesakan di dalam toilet sempit di rumahnya yang berada di bawah tanah demi dapat mengakses koneksi internet tetangganya. Dipuji karena pesan anti-kapitalisnya dan penggambaran yang mencolok tentang kesenjangan kelas sosial, film ini menggunakan gambaran sehari-hari yang sederhana untuk menyampaikan pesannya.
Contohnya, adegan yang menunjukkan perbedaan pemandangan dari rumah basemen dan rumah kaum elite, atau semangkuk mi instan murah dengan topping daging sapi mahal (read: Jjapaguri Sirloin) yang dimaksudkan untuk menyandingkan polaritas kelas sosial. Terlepas dari ini semua, justru akses internet yang menjadi tolak ukur untuk membaiknya kondisi ekonomi keluarga Kim.
Kelas Online dan Privilege (Hak Istimewa)
Jika sebelumnya, mampu membayar uang iuran atau buku adalah kunci untuk bersekolah. Saat ini tampaknya untuk mendapatkan pendidikan semakin bergantung pada apakah seseorang memiliki koneksi internet yang stabil. Sebuah prasyarat baru di dunia di mana penelusuran Google telah menggantikan perpustakaan atau proyek video telah mengambil alih laporan tertulis.
Tentu, tidak semua orang tua memiliki privilese untuk mendapatkan akses dan fasilitas yang mumpuni. Privilese dapat didefinisikan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh seseorang yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain. Hal mencakup beberapa aspek aspek seperti: ras, kelas, gender, orientasi seksual, agama, pendidikan, usia, kemampuan fisik, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, privilese pendidikan cukup dipengaruhi oleh kelas sosial. Dalam kasus ini, situasi perekonomian siswa untuk mendapatkan gadget, mengakses video conference, Zoom, Google Meet, mungkin istilah dan kata-kata yang tidak lebih penting dan tidak ada harganya dibanding beras, dan minyak.
Dari perspektif siswa dan orang tua, hak istimewa yang mereka miliki selama pandemi mungkin adalah teknologi yang canggih, serta aplikasi yang selalu up date. Ketika pandemi Covid-19 melanda dan memaksa sekolah untuk ditutup, internet tampaknya menjadi pilihan yang layak untuk pembelajaran jarak jauh di rumah. Ironisnya, hanya dalam beberapa minggu, banyak pihak yang mengeluhkan kendala pembelajaran jarak jauh. Belajar daring menyimpan banyak ganjalan, terutama soal keterjangkauan sinyal seluler.
Banyak siswa yang harus mencari lokasi yang terjangkau oleh sinyal seluler seperti kafe, balai, atau gedung lainnya. Upaya lebih ekstrem juga dilakukan oleh beberapa siswa yang tinggal di pelosok desa. Mereka rela memanjat pohon yang jauh dari desa mereka di pegunungan demi mendapat sinyal. Tidak cuma siswa, guru-guru pun mengupayakan berbagai cara untuk menyampaikan ilmu. Beberapa guru rela mendatangi murid mereka agar bisa memberikan materi secara tatap muka. Masalah tidak cuma berkutat soal sinyal, tetapi juga ketersediaan perangkat. Tidak sedikit keluarga yang hanya memiliki satu ponsel pintar, kemudian digunakan putra-putrinya secara bergantian.
Kompleksitas Kesenjangan Sosial
Krisis Covid-19 dan lockdown telah memperburuk perbedaan kelas sosial dan memperlebar kesenjangan pembelajaran yang sudah ada. Anak- anak dari keluarga berpenghasilan tinggi memiliki akses teknologi yang diperlukan seperti gadget dan koneksi internet serta perangkat elektronik lainnya dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah. Dalam skala nasional, kita menyaksikan krisis yang dihadapi masyarakat selama pandemi, adanya implikasi yang cukup parah dalam hal penurunan pendapatan dan peningkatan beban finansial. Mereka dihadapkan pada kekhawatiran tentang kelangsungan hidup sehingga pendidikan anak-anak mereka tidak menjadi prioritas dalam kondisi saat ini.
Pandemi menunjukkan bahwa kita tidak dapat mempersiapkan masa depan anak-anak secara layak tanpa memastikan bahwa mereka mendapatkan kesempatan yang sama (equality of opportunity). Masalah kesetaraan dalam pendidikan harus menjadi agenda utama kita bersama untuk kemajuan masa depan.
Saat ini kita memperlakukan pendidikan layaknya balapan Formula 1 di mana pembalap yang memiliki catatan waktu terbaik akan memulai dari posisi terdepan sementara pembalap lainnya akan mulai dari barisan belakang. Jika seseorang memulai dari lima posisi pertama, kemungkinan besar ia akan memenangkan perlombaan. Jika seseorang memulai dari posisi lima terbawah, jarak dengan pembalap teratas akan terus bertambah seiring berlalunya balapan. Ini akan menjadi balapan yang sulit untuk mencapai garis finish. Kita perlu bekerja secara aktif supaya anak-anak dapat memulai dengan pada pijakan yang sama dalam perjalanan belajar mereka. Kita perlu melakukannya sehingga tidak ada anak yang harus berjuang sepanjang hidupnya hanya untuk dapat belajar secara layak.
Di sisi lain, kita juga sedang diingatkan bahwa dengan semua kemajuan teknologi, interaksi langsung tetap menjadi inti dari segala jenis pembelajaran. Layar dapat menjadi alat bantu belajar yang diperlukan, tetapi layar tidak dapat dan tidak akan pernah bisa menggantikan ruang kelas, kedekatan dan ketulusan guru kepada peserta didik. Ketika krisis ini sudah berakhir, setiap siswa akan kembali ke dalam kelas ketika bel berbunyi, dan harapannya setelah mereka duduk (baca: kembali belajar), kekuatan dan jangkauan koneksi Internet tidak lagi menjadi masalah.[]
Penulis adalah guru Bahasa Inggris di Sekolah Sukma Bangsa Bireuen
Editor : Ihan Nurdin