Oleh Ahmad Humam Hamid*
Pembahasan sejarah pandemi dalam peradaban Islam sesungguhnya telah terjadi bersamaan dengan kelahiran dan perkembangan awal agama ini. Alquran dan hadis, dengan terang benderang telah menerangkan dan memberikan tuntunan kepada ummat tentang wabah dan kerangka umum bagaimana menghadapinya. Hal ini menjadi sangat penting untuk menempatkan interaksi Islam dengan wabah untuk melihat cara pandang agama Islam terhadap pandemi dan bahkan keterlibatan ilmuwannya dalam mencari akar penyakit dan memberikan solusinya untuk keberlanjutan kehidupan manusia dan kemanusiaan.
Surat Hudd 11:61-68 dan surat Al Fil 105: 3-5 adalah dua gambaran besar tentang wabah yang diterangkan dalam Alquran yang pada awalnya diterjemahkan secara terbatas sebagai kutukan dari Yang Maha Kuasa, untuk kemudian dalam perjalanan penalaran ilmuwan Islam dicarikan penjelasan ilmiahnya. Cerita Nabi Saleh AS dan kaum Tsamud dalam Surat Hudd bahkan diterangkan lebih banyak lagi, paling kurang dalam tujuh surat lainnya.
Kepustakaan klasik menyebutkan tentang kemungkaran kaum Nabi Saleh AS terhadap persyaratan unta mukjizat yang mereka minta dari Saleh AS yang kemudian akibat ketidakpatuhan mereka mendatangkan kutukan dari Allah SWT (Sayid Qutub 2001). Kaum Tsamud tidak hanya melanggar persyaratan, bahkan satu atau dua orang dari mereka membunuh Unta itu yang kemudian menimbulkan malapetaka untuk semua kaum Tsamud yang merupakan kaumnya Saleh AS.
Diceritakan sebelum tiga azab mereka terima dalam masa 3 hari berturut-turut, petir, ledakan keras, dan gempa, kaum Tsamud mengalami peristiwa biologis terhadap wajah mereka. Muka mereka berubah dari kuning pada hari pertama, merah pada hari kedua, dan hitam pada hari ketiga. Fenomena itu ditengarai oleh para ahli sebagai mulai merebaknya wabah yang sangat ganas. Ada yang mengatakan penyakit itu sebagai typhus, ada yang menyebutnya sebagai sampar (Ramli 1968). Kaum Tsamud yang diperkirakan hidup pada 1500 atau 1600 (Nadvi 1997)sebelum Masehi diceritakan akhirnya binasa, padahal mereka adalah salah satu kaum yang sangat maju pada masanya.
Surat Al Fil menceritakan tentang ambisi Raja Abrahah yang hendak memindahkan pusat ziarah kawasan dari Kabah di Mekkah ke sebuah gereja di kawasan Yaman. Merasa niatnya gagal tercapai Abrahah kemudian berupaya menyerang Mekkah dengan mengirim gajah untuk merobohkan bangunan Kabah pada tahun 570 Masehi. Keperkasaan Abrahah dan tentara gajahnya akhirnya dikalahkan oleh burung ababil yang melemparkan batu yang membawa kebinasaan kepada pasukan gajah Abrahah dan ia sendiri yang kemudian binasa.
Kepustakan Islam menjelaskan thayran ababil sebagai kawanan burung yang berbondong-bondong. Muhammad Abduh (1999) memberikan pejelasan tentang thayran ababil sebagai hama lalat yang membawa penyakit pada kakınya yang apabila tersentuh dengan tubuh manusia akan rusak dan berpenyakit. Di kalangan ilmuwan Islam wabah yang pada mulanya diperkenalkan dalam Alquran sebagai bentuk azab dari Alah SWT kemudian dapat ditelusuri dengan pendekatan ilmu pengetahuan. Dengan menggunakan pendekatan tafsir maudhui ( Shihab 2000) yang menekankan kepada pembuktian ilmiah dapatlah disimpulkan wabah itu sebagai fenomena biologis makhluk kecil-bakteri atau virus yang menular dan mencelakakan manusia.
Pembahasan secara lebih aktual tentang penyakit menular dalam periode Islam awal dapat ditarik paling kurang kepada dua hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dan hadis yang lain lagi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang mencerminkan anjuran situasi lockdown, karantina, dan social distancing. Anjuran lockdown dan karantina tercermin dalam hadis riwayat Bukhari Muslim berbunyi “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, janganlah kamu memasukinya. Tetapi jika wabah itu terjadi di tempat kamu berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” Anjuran social distancing terlihat dalam hadis riwayat Abu Hurairah “ jauhilah orang yang lepra, seperti kamu menjauhi singa.”
Tidak berhenti di situ Rasul juga memberikan pendekatan psikologis kepada publik tentang depresi, optimisme. Dan nasib ketika pandemi datang dan merajalela di suatu kawasan. Dengan pedekatan lockdown, karantina, dan social distancing dari dua hadis awal, Rasul memberikan hadis lainnya- Riwayat Bukhari; Riwayat Abu Hurairah) tentang nasib mereka yang meninggal. Kedua hadis menjelaskan tentang pahala mati syahid akhirat kepada korban wabah, dan juga anjuran untuk bersabar dengan penekanan kepada usaha dan menyerahkan diri kepada Allah SWT.
Apa yang menarik dari ketiga anjuran Rasul itu adalah anjuran kebijakan publik tentang pengendalian wabah dan resep psikologis menghadapinya yang bahkan jauh lebih hebat dari peradaban negara adidaya Romawi pada masa itu yang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi melampaui kawasan manapun di Eropa, seluruh pesisir Mediterania, dan bahkan sebagian besar Timur Tengah. Anjuran yang datang dari seorang manusia buta aksara itu belum ada dalam kumpulan pengetahuan Romawi, sekalipun ilmu kedokteran mereka jauh lebih hebat dari sebuah tempat terpencil, bukan pusat perdagangan, jahiliah, dan tidak kosmopolit , Mekkah dan Madinah. Padahal wabah Justinian yang merasuk Romawi (Dionysios 2018) selama puluhan tahun dan daur ulang selama ratusan tahun hanya terjadi sekitar 20 -30 tahun -541-549 M- sebelum kelahiran nabi Muhammad SAW, 570.
Sejarah mencatat kemajuan ekspansi kekhalifahan Islam ditandai dengan huruf besar pada tahun pengujung abad ketujuh. Tahun-tahun itu adalah masa terjadinya wabah Justinian yang berulang kali di kawasan Mediterania dan Timur Tengah. MW Dols (1974) mencatat paling kurang ada lima serial berulang wabah Justinian yang serial pertamanya dimulai pada tahun 627-628, dan serial terakhirnya terjadi ada tahun 716. Wabah itu menghantam Romawi Timur yang megakibatkan paling 50-60 juta penduduknya tewas, terutama di kawasan Mesir, Palestina, Syiria, Irak, Tunisia dan Moroko.
Pukulan wabah Justinian ini memberikan dua babak penting dalam sejarah kedigdayan Islam pasca mangkatnya Nabi Muhammad SAW. Pertama adalah melemahnya dua imperium adidaya kawasan yakni Romawi Timur, dan imperium Persia dari dinasti Sasanid. Kedua imperium adalah dua super power yang berperang selama lebih dari 600 tahun (Sarkhosh & Sarah 2010). Kedigdayaan Islam babak kedua adalah akibat keberlanjutan serial wabah Justinian yang melemahkan Romawi Timur yang dilanjutkan dengan kedatangan wabah black death di Eropa pada tahun 1347 – 1351 Masehi dan membunuh antara 75-200 juta manusia. Babak kedua terjadi seratus tahun lebih kemudian atau tepatnya pada tahun 1453 ketika Romawi Timur dikalahkan oleh Raja Mohammad II dari dinasti Ottoman, Turki. Dinasti Otoman terus berlanjut menguasai sebagian besar Mediterania , Eropa, dan Timur Tengah sampai dengan 600 tahun kemudian.
Apa yang menarik dari penjelasan para ahli sejarah dan ilmuwan penyakit menular adalah keberuntungan suku-suka Arab kecil yang terisolir, sangat sedikit terhubungkan dengan dunia luar, terutama Mekkah dan Madinah telah membuat mereka terhindar dari berbagai pandemi yang mematikan itu seperti yang terjadi di Romawi dan Persia. Secara penalaran sulit membayangkan kebesaran Romawi dan Persia dikalahkan oleh suku-suku kecil yang tidak “terpelajar” sebagai cikal bakal kekhalifahan Islam semenjak Nabi Besar Muhammad SAW. Konsekuensi kemajuan, konektivitas, dan kosmopolitan dari Romawi dan Persia telah membuat mereka mengalami degradasi yang luar biasa selama berabad-abad, dan wabah kemudian menjadi salah satu variabel penting yang menjelaskan tampilnya Islam sebagai kekuasaan yang medominasi peradaban di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, dan sebagian Eropa. []
*)Penulis adalah Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.