Oleh Muhajir Juli
Bila kita bersedia bertanya lebih dalam, adakah perempuan yang bersedia melacurkan diri, andaikan semua kebutuhannya dapat dipenuhi? Dari beberapa dokumenter dan liputan mendalam jurnalis di seluruh dunia, semuanya bercerita, bahwa perempuan yang memilih menjadi teman tidur lelaki hidung belang, berasal dari latar belakang kelas ekonomi lemah. Melacurkan diri sebagai pemuas nafsu lelaki angkara, adalah strategi bertahan hidup dan menghidupkan keluarga.
Seorang pelacur di kawasan kumuh di India yang terdampak Covid-19, mengatakan, dirinya merantau ke kota tanpa memiliki keahlian. Satu – satunya yang ia miliki adalah tubuh. Satu – satunya properti yang bisa dijadikan nilai ekonomi, yaitu tubuhnya. “Ayah, ibu, abang dan adik, semuanya bergantung kepada saya. Biaya makan, dan pendidikan harus saya tanggung. Saya tidak yakin bila mereka tidak tahu bila di sini saya mencari uang dengan cara menjual tubuh untuk lelaki yang curang,” ujar perempuan itu.
“Tapi saya tidak memiliki pilihan. Saya butuh uang untuk hidup dan menghidupan keluarga di kampung.”
Demikian juga yang dialami Theodora, perempuan cantik yang menjadi pelacur di abad kelima Masehi. Saat masih kecil, dia dan adiknya dikirim oleh ibu mereka ke kota untuk menjadi pelacur. Kehidupan yang miskin,membuat sang ibu nekat menjual anak perempuannya agar menjadi pemuas nafsu lelaki yang tidak bisa memimpin alat kelaminnya agar mengenal saluran yang halal.
Sialnya, menjadi pelacur di Konstantinopel di abat tersebut, tidak cukup dengan rupa yang menarik dan tubuh yang aduhai. Agar bisa masuk ke ‘industri’ tersebut, seorang calon pelacur harus mampu menari, menyanyi, dan bermain alat musik. Sialnya, Theodora tidak memiliki satu pun keahlian itu. Jangkan memainkan alat musik, dan menyanyi. menaripun dia tidak bisa.
Anda bayangkan saja, dengan kondisi yang demikian, demi tetap hidup, Theodora akhirnya menjadi pelacur paling kacau se- antero Kontantinopel kala itu.
Nasib kemudian membawanya ke derajat tertinggi. Pada suatu hari di berkencan dengan Jhon, yang ternyata kaisar yang sedang menyamar. Lelaki itu jatuh hati padanya dan kemudian mereka menikah.
Setelah Theodora menjadi permaisuri, berkat kemampuannya meyakinkan sang suami, perempuan itu berhasil membuat sejarah. Semua pemerkosa mendapatkan hukuman berat. Dia juga berhasil memperjuangkan agar perempuan di Konstantinopel memiliki hak kepemilikan properti.
Kisah hidup Theodora merupakan salah satu catatan yang menarik dipelajari lebih dalam. Bahwa banyak sekali orang – orang terjerumus ke dalam pilihan yang tidak direstui oleh agama, disebabkan oleh kemiskinan. Pertanyaannya, siapa yang telah menciptakan kemiskinan di sebuah komunitas bangsa? Menjawab ini tentu tidak butuh penelitian yang sangat mendalam. Kita semua, sembari memejamkan mata dan menyeruput kopi panas, dengan segera bisa menjawab: Pemerintah! Pemerintah mulai level tertinggi hingga terendah.
Tanpa perlu diskusi panjang lebar, kita semua sepakat bahwa pelacuran sebuah kenistaan kemanusiaan. Perbuatan menjijikkan yang harus dikutuk secara beramai – ramai. Tapi, adakah di antara kita yang benar – benar ingin mengangkat derajat mereka ke taraf yang lebih baik, seperti yang dilakukan Jhon terhadap Theodora. Tidak, diam – diam banyak di antara kita menikmati pelacuran sebagai hiburan. Bahkan tidak sedikit yang di belakang kamera, masuk ke bilik – bilik pelacur, untuk kemudian menikmati tubuh mereka dengan bayaran tertentu.
Kita mengutuk pelacuran, tapi tidak bersedia mengangkat derajat rakyat miskin, menjadi kelompok kelas menengah yang memiliki banyak pilihan untuk bertahan hidup. Buktinya, hingga hari ini, sebaik apapun kondisi ekonomi, kita tidak bisa berhenti menjadi manusia rakus, dengan melahap semua uang yang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan.
Tulisan ini bukan bermaksud membela pelacur. Tak ada dalil membenarkan perbuatan itu. Tapi, kita harus melihat lebih tajam, mengapa pelacuran itu ada dan tumbuh subur? Tidak adakah formula untuk menghilangkannya?
Manusia diciptakan oleh Allah dengan kapasitas otak yang paling sempurna di antara semua manusia lainnya. lalu, bagaimana caranya? Mulai saat ini, kita di sini, segera berhenti menjadi pelacur anggaran. berhentilah menjadi perampok anggaran rakyat.
Satu – satunya jalan menyelamatkan perempuan dari jalan yang salah, dengan cara menyelamatkan ekonomi keluarganya. Berat? Tentu saja. Kita yang telah begitu lama hidup dengan cara memakai jas dan dasi serta id card untuk ‘merampok’, akan kelimpungan belajar bertahan hidup dengan cara lebih terhormat. Padahal kita adalah orang – orang berpendidikan, dan pengurus berbagai organisasi besar. Bila gelar sarjana dan pendidikan agama tidak mampu menyelamatkan kita dari perbuatan terkutuk itu, lalu apa gunanya belajar?
*)Penulis adalah wartawan. CEO aceHTrend. Juga Penulis Buku Biografi.