Oleh Noer Zainora*
Akhir-akhir ini muncul wacana yang ingin menunda implementasi Qanun Lembaga Keuangan Syariah di Aceh. Qanun ini telah disahkan pada 2018 lalu dan idealnya setelah tiga tahun disosialisasikan, tibalah saatnya untuk menerapkannya secara utuh. Namun, belakangan justru muncul wacana menundaa pelaksanaannya di masyarakat. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi di bumi syariat Islam.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama Aceh adalah daerah yang istimewa yang diberi wewenang khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang gubernur.
Aceh juga daerah yang dijuluki Seuramoe Mekkah, mayoritas penduduknya Islam dan sangat kental akan peraturan-peraturan syariat. Segala hukum harus disesuaikan dengan hukum syariat Islam. Dengan begitu, dengan ditetapkannya Qanun No 11 Tahun 2018 tentang LKS ini, maka membantu Aceh dalam menerapkan semua lembaga keuangan yang berlandaskan hukum syariat Islam. Lembaga keuangan konvensional yang beroperasi di Aceh melakukan peralihan menjadi lembaga keuangan syariah dalam jangka waktu tiga tahun sejak qanun diundangkan. Jika tidak, maka lembaga keuangan tersebut tidak bisa beroperasi lagi di Aceh.
Saya pribadi tidak setuju jika masih ada wacana untuk menunda penerapan Qanun LKS ini, karena dapat menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak berkomitmen dengan apa yang telah diputuskannya sendiri. Hanya karena dalam penerapannya dikhawatirkan tidak dapat berkembang dengan mudah, karena banyak lembaga keuangan yang awalnya konvensional, tetapi setelah ada qanun ini harus beralih dan itu membutuhkan waktu, bukan berarti penerapan Qanun LKS harus ditunda.
Seharusnya, masyarakat yang tidak setuju akan qanun ini diberi pengetahuan lagi terkait sistem dan mekanisme bank syariah sehingga mereka sadar akan pentingnya menerapkan hukum serta pelaksanaan yang sesuai dengan syariat Islam di lembaga keuangan, baik bank atau nonbank. Banyak sekali perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional. Misalnya, dalam sistem perbankan syariah tidak ada sistem bagi bunga, tetapi sistem bagi hasil. Dalam konsep Islam, bunga bank termasuk riba dan hukum haramnya. Hal ini dipertegas dalam firman Allah QS Ali Imran: 3, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”
Rasulullah saw juga telah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh HR Muslim, “Rasulullah saw melaknat pemakan riba yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda: mereka semua sama.” (HR. Muslim).
Rasulullah juga bersabda, “Satu dirham uang riba yang dinikmati seseorang dalam keadaan tau bahwa itu riba, maka dosanya lebih jelek daripada berzina 36 kali.” (HR Ahmad).
Satu dirham setara dengan Rp5 ribu, bagaimana jika riba yang diambil sampai ratusan juta? Bagaimana dosa yang didapatkan? Bagaimana jika dana yang dikelola oleh lembaga keuangan yang belum syariah itu ratusan miliar? Maka dari itu kita harus menjauhi larangan riba seperti pada firman Allah SWT dan sabda Rasulullah saw karena dapat kita ketahui bahwa dosa riba itu besar dan juga bisa berdampak negatif bagi hal lainnya.
Aceh menempuh terobosan baru sebagai provinsi pertama yang akan menerapkan sistem keuangan tunggal yang patuh syariah. Walaupun ada kekhawatiran di pusat, provinsi lain akan mengikuti jejak Aceh, tetapi ternyata ini tidak menghalangi Otoritas Jasa Keuangan menyetujui Qanun LKS. Bahkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) mendukung Qanun LKS dan memfasilitasi apa yang diamanahkan dalam qanun.
Sebelum itu, analisis terhadap dampak kepada perekonomian telah dilakukan. Menggunakan model keuangan tunggal tidak akan menimbulkan masalah pada perekonomian. Ini karena, lembaga keuangan syariah memiliki fasilitas dan kemampuan yang sama dengan perbankan konvensional. Semua produk konvensional yang ditemui di bank nonsyariah juga ada padanannya pada bank syariah sehingga bisa memenuhi segala kebutuhan pembiayaan masyarakat. Di samping itu, bank-bank umum syariah juga memiliki fasilitas digital banking menggunakan aplikasi mobile banking dengan fitur canggih yang bisa digunakan untuk transfer online, pembayaran tagihan, hingga untuk berinfak.
Seharusnya, mahasiswa terutama yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi Islam ikut serta membantu agar qanun ini terlaksana dengan baik dengan cara mempelajari dan ikut mengembangkan pengetahuan terkait qanun ini. Qanun ini diharapkan dapat menjadi harapan untuk mendorong perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Dengan kewenangan pelaksanaan syariat Islam yang dimilikinya, Aceh dianggap sebagai tempat terbaik mengimplemetasikan cita-cita terwujudnya ekonomi syariah.[]
Penulis adalah mahasiswi IAIN Langsa Prodi Perbankan Syariah semester V
Editor : Ihan Nurdin