Oleh Muhajir Al-Fairusy*
“Syekh Ali Jabeer lebih dikenal setelah ia wafat,” celetuk seorang teman pada saya. Kini, setelah pendakwah kelahiran Madinah ini tiada, Youtube-nya ditonton oleh jutaan manusia Indonesia. Sosok agamawan moderat ini, kerap menampilkan ceramah yang mudah dipahami dan humoris dengan bahasa Indonesia yang berwarna kearab-araban. Kehadiran Ali Jabeer ke Indonesia, membawa kembali wajah Islam yang beradab, setelah kian lama terseok-seok di tangan para pendakwah yang cenderung agitasi, bahkan kerap memecah belah yang berujung pada disintegrasi masyarakat Indonesia.
Ali Jabeer, yang sebelumnya warga Madinah kemudian memilih menjadi warga negara Indonesia pada tahun 2012 kerap tampil dengan pesan-pesan asketik dan teologis, sekaligus ajakan untuk kembali pada Alquran sebagai kitab suci paling sakral bagi umat Islam. Dakwah Syekh Ali Jabeer dipastikan tak pernah menuai kontroversi, ia adalah konfigurasi sesungguhnya konsep dari moderasi beragama, memilih jalan tengah tanpa bersinggungan. Syekh Ali Jabeer layaknya ideologi besar dengan segudang upaya integrasi nasional, apa yang sedang dibutuhkan Indonesia sebagai negara mayoritas umat Islam terbanyak di dunia setelah Pakistan.
Teknologi informasi memberi andil luas pada umat manusia untuk saling terkait dan berjejaring. Menembus ruang dan waktu, teknologi bahkan mampu “menghidupkan” kembali mereka yang telah tiada dengan menyeruak ke pelosok-pelosok kampung se-Indonesia yang telah dijamah oleh koneksi internet. Melalui video yang terus ter-update dalam mencari rating yang berujung pada monetisasi, para Youtuber menghadirkan setiap jengkal bentuk kebudayaan yang sebelumnya tak pernah terjangkau antar-umat manusia.
Salah satunya adalah rentetan video via konten Youtube yang menampilkan ceramah agama seorang ulama kontemporer Indonesia, Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau yang akrab disapa Abah Guru Sekumpul, seorang ulama dari Martapura, Banjar-Kalimatan Selatan. Pesan agama yang disampaikan oleh Guru Sekumpul banyak menyedot perhatian publik, meskipun ia telah wafat setengah dekade lalu di tahun 2005. Guru Sekumpul kerap memberi nasehat dengan bahasa yang begitu santun dan teratur, penguasaan hadis dan ayat Alquran yang lancar, paling penting tidak bermuatan agitasi.
Kehadiran aguru Sekumpul bukan hanya mengangkat nama Banjar sebagai kawasan penting pengembangan Islam yang terus memproduksi ulama dan cenderung puritan, bahkan membongkar peran penting para intelektual di sana yang ikut berkontribusi besar dalam penyebaran Islam di Indonesia. Sebut saja nama Datuk Kalampayan yang memiliki nama asli Muhammad Arsyad al Banjari, pengarang kitab Sabilal Muhtadin yang selanjutnya menjadi kitab rujukan memahami fikih (hukum Islam) pun tersebar se-Indonesia, dan kerap disandingkan dengan Sairus Salikin sebagai bacaan penting menyelami tasawuf di negara ini.
Ceramah Abah Guru Sekumpul yang direproduksi kembali oleh mesin Youtube sebagai salah satu produk monumental kebudayaan umat manusia, mengulik kembali lembaran wajah Islam Indonesia yang lebih beradab. Abah Guru kembali dan tetap “hidup” meski telah tiada dengan narasi Islam teduh.
Saat bersamaan, muncul kelompok Islam Indonesia via televisi yang kerap ditampilkan bermuatan agitasi. Namun, lewat Youtube, narasi Islam tandingan sebagai wajah beradab dapat ditelusuri. Tatkala beberapa kelompok umat Islam disibukkan dengan perpecahan bahkan saling hasut karena perbedaan, kehadiran abah guru sekumpul dan Syekh Ali Jabeer justru menjadi oase bagaimana seharusnya Islam moderat dimaknai tanpa hasutan dan ujaran kebencian. Wajah Islam tasawuf dalam versi kultural, dan tazkiyatun nafs yang dimaknai oleh kelompok tertentu sejatinya adalah perangkat penting menjaga eksistensi Islam yang berwajah humanis dan moderat.
Teknologi dan informasi yang menjadi temuan strategis dalam sejarah perjalanan umat manusia, tak sekedar mampu membangun jaringan manusia yang lebih cepat dan teratur. Perangkat ini mampu menghubungkan manusia dari satu titik ke titik lain berjarak letak tak terjangkau. Lebih dari itu, teknologi informasi kekinian mampu menghubungkan manusia yang masih hidup dengan mereka yang telah tiada secara transparan.
Mereka yang telah tiada, hadir hampir secara realitas di hadapan mereka yang masih hidup. Pun demikian, di saat yang sama, teknologi dan informasi juga telah menjadi alat mewafatkan mereka yang masih hidup. Saat kaum rebahan di atas kasur dengan smartphone hampir tak lagi bergerak. Mata dan imajinasi terus menatap layar android. Manusia kian menjadi salah satu ekosistem alam paling malas di muka bumi. Dimatikan oleh game online dan segudang perangkat lain yang ada di layar “agama baru” bernama teknologi dan informasi yang kian liar.
*)Antropolog STAIN Meulaboh. Kandidat doktor antropologi UGM, Yogyakarta.