Oleh Muhajir Juli
Sebagai negara besar dengan ratusan juta penduduk, dan didominasi oleh lima agama besar, kita seringkali menemukan persinggungan rasial di dalam pergaulan sosial. Oleh politisi jahat, keberagaman Indonesia kerap dijadikan alat propaganda. Hal ini ditambah lagi oleh tabiat buruk sesama Indonesia yang hanya beda klub bola saja, bisa memendam kesumat bergenerasi. Padahal, masalahnya hanya pada isme baju kesebelasan. Dan klub yang didukung, sama – sama monster APBD dan CSR BUMN.
Lalu, siapakah sebenarnya Indonesia? Sedari awal saya tidak sepakat bahwa Indonesia disebut sebagai nation, saya lebih sepakat Indonesia adalah negara (state), bukan bangsa.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) , bangsa adalah orang-orang yang memiliki kesamaan asal, keturunan, adat, bahasa dan sejarah serta berpemerintahan sendiri.
Menurut Roger H. Soltau, negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan – persoalan bersama atas nama masyarakat.
Menurut dua definisi tersebut di atas, sudah terjawab bila bangsa dan negara merupakan dua hal yang berbeda. Dalam konteks bernegara, maka pertanyaan, siapakah Indonesia, maka tidak serta merta Jawa menjadi entitasnya. Demikian juga lainnya. Sebagai sebuah negara yang disusun dari puluhan bangsa, bahasa, budaya, dan agama, maka Indonesia sejatinya adalah negara keberagaman. Rumah bagi perbedaan. Tapi, politik penyeragaman ala Pemerintah Pusat di masa Orde Baru, telah membuat yang mayoritas tidak dapat berkiprah luas, yang minoritas apalagi. Semua hal sangat tergantung restu Soeharto dan Tien. Bagaimana Indonesia di mata mereka, begitulah negara ini dijalankan.
Di masa itu kita tentu tidak boleh lupa bagaimana jilbab dilarang di ruang publik. Mereka yang berhijab diperolok – olok. Bahkan untuk foto KTP dan ijazah, perempuan –betapapun teguh imannya, tidak boleh menggunakan jilbab. Satu – satunya penutup kepada yang dibenarkan untuk perempuan muslim adalah selendang tipis yang menjadi ciri khas ‘nasional’
Lain lagi kisah tragis etnis Tionghoa, walaupun lahir dan besar di Indonesia, tapi dianggap warga kelas dua. Orang seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti yang ikut mengharumkan nama Indonesia pada Olimpiade 1992, tidak juga dipermudah. Bagaimana dengan ‘Cina’miskin lainnya? Perihal keyakinan dan kebudayaan? Secara halus Tionghoa penganut Konghucu diminta pindah keyakinan. Barongsai dilarang, Imlek tidak diperbolehkan.
30 tahun berkuasa, kiranya Suharto sudah cukup mapan membentuk watak rasis di pikiran rakyat Indonesia. Di mana – mana, pertentangan antar bangsa (Indonesia menyebutnya suku), antar keyakinan serta antar pulau, telah menyebabkan pergaulan sosial kita memiliki rekam jejak hitam. Belum lagi, benturan langsung antara rakyat dengan Pemerintah Pusat. Aceh dan Papua, memiliki pengalaman itu. Ketika benturan itu terjadi, orang – orang Aceh seakan – akan sedang hidup di Jalur Gaza. Demikian juga Papua. Seakan – akan bukan bagian dari Indonesia.
Sedari awal [Pemerintah] Indonesia sudah gagal menerjemahkan bhinneka tunggal ika, semboyan negara yang dikutip dari bahasa Sangsekerta, peninggalan Hindu yang cukup lama mapan di Pulau Jawa. Persatuan, kesatuan, keindonesiaan, selalu diterjemahkan menurut tafsir sepihak penghuni Istana Negara.
Hingga kini, masalah – masalah itu masih mengganggu kita dalam interaksi keindonesiaan.
Gus Dur, Pelita Indonesia
Kyai H. Abdurahman Wahid atau lebih dikenal dengan nama Gus Dur, sudah cukup lama dikenal sebagai salah satu intelektual Indonesia yang plural. Ia seorang cendekiawan muslim yang mampu melihat keberagaman sebagai modal besar Indonesia untuk tetap eksis di percaturan dunia.
Pikiran – pikirannya yang cemerlang dan lantang mengeritik Orde Baru yang sakit, membuat Gus Dur tidak disukai oleh Suharto dan orang lingkarnya. Lelaki kelahiran Jombang, 7 September 1940 itu, membuat the smilling general (Suharto) terganggu jalan pikirannya.
Sebagai intelektual yang lahir dan besar di lingkungan pesantren, serta ikut menimba ilmu ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Gus Dur adalah ulama dengan pikiran terbuka. Dia benar – benar mampu membangun wacana demokrasi Pancasila yang dikumandangkan oleh Orde Baru, dengan cara membuka wacana arti penting demokrasi, keadilan pembangunan, penegakan HAM, kesetaraan dan keberagaman.
Hal itu semakin teguh ia buktikan kala terpilih sebagai Presiden RI keempat, menggantikan Prof. BJ Habibie, yang ‘dikerjai’ ketika Sidang MPR, yang menolak laporan pertanggungjawabannya.
Dia termasuk sangat berani ketika mengusulkan pencabutan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pelarangan PKI dan Pelarangan Ajaran Komunisme & Marxisme/Leninisme di Indonesia. Walau usulan itu kemudian ditolak secara menyeluruh oleh anggota MPR, tapi wacana Gus Dur menarik untuk ditinjau lebih jauh.
Tak cukup di sana, ia kemudian atas nama Pemerintah Indonesia, pernah meminta maaf kepada korban dan penyintas tragedi 1965, yang telah menyebabkan 500.000 jiwa rakyat Indonesia melayang, sepanjang 1965-1966, dibunuh tanpa diadili di muka sidang.
Menyeruaknya wacana referendum Aceh pada awal 1999 di Aceh dalam Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau yang dihelat pada 31 Januari hingga 4 Februari 1999 –ide ini didukung oleh GAM lapangan– tidak membuat Gus Dur risau.
Dikutip dari Kompas, Senin (8/11/1999) Gus Gur sama sekali tidak khawatir terkait wacana referendum yang dimotori oleh Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), organisasi perlawanan mahasiswa yang berafiliasi dengan GAM.
“Tidak akan Aceh meninggalkan Indonesia. Bahwa sekarang ada kehendak referendum, itu wajar-wajar saja. Referendum … kenapa tidak. Keputusan akhir dari suara rakyat itu bagaimana, nanti harus dihormati. Tetapi saya yakin tidak akan lepas,” kata Gus Dur dalam jumpa pers yang didampingi Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, di Istana Kerajaan Kamboja, Moha Prasat Khemarin, di Phnom Penh, Senin (8/11/1999) malam.
“Saya sudah menyatakan pro-referendum. Bagaimana nanti, lihat saja,” ujarnya lebih lanjut.
Menurut Gus Dur, seperti dilaporkan wartawan Kompas J Osdar, walaupun ada referendum, Aceh belum tentu lepas dari RI. “Saya tahu rakyat Aceh,” katanya. “Kalau ada referendum di Timor Timur, mengapa tidak boleh di Aceh. Itu namanya ‘kan tidak adil,” tegas Gus Dur.
Demikian juga perihal Papua. Gus Dur begitu menjadi Presiden RI, segera menangani mereka dengan cara seorang bapak. Seperti dilansir Tirto, dua terobosan Gus Dur saat itu adalah mengganti nama Irian Jaya (yang dicetuskan Sukarno) menjadi Papua serta memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora.
Gus Dur tidak mempermasalahkan seandainya bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Merah Putih. Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Gus Dur menganggap bendera Bintang Kejora sebagai umbul-umbul atau spanduk yang dikibarkan dalam berbagai perayaan.
“Gus Dur melihat pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai umbul-umbul saja, itu simbol budaya Papua,” sebut Ketua Pengembangan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Febi Yonesta, kepada Tirto di Jakarta, Minggu (1/9/2019).
Namun, sebagaimana dicatat Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2003), hubungan Gus Dur dengan TNI saat itu tidak hangat.
Aparat di lapangan pun tak jarang gagal menerjemahkan kebijakan Gus Dur. Terkait pengibaran bendera Bintang Kejora, catat Barton, masyarakat Papua protes setelah terjadi insiden pemotongan tiang bendera Bintang Kejora oleh polisi.
Melalui Keppres Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur memberikan angin segar kepada Tionghoa Indonesia yang telah puluhan tahun dikungkung. Imlek ditetapkan sebagai hari besar nasional, dengan membatalkan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Gus Dur membenarkan perayaab Imlek sebagai bagian dari tradisi dan budaya Tionghoa, bukan agama.
Tentu masih sangat banyak sikap politik Gus Dur yang kini patut kita hargai sebagai ikhtiar intelektual muslim, yang melihat Indonesia bukan entitas tunggal yang bisa dimaknai secara satu definisi. Indonesia dengan bhinneka tunggal ika-nya, merupakan rumah besar 250 juta penduduk, dari Sabang sampai Merauke, dengan puluhan bangsa, ratusan bahasa, ratusan kebudayaan, lima keyakinan besar dan ratusan kepercayaan lokal, serta ragam kepentingan.
Bagi Gus Dur, selama tidak merong-rong pemerintah yang sah, maka segenap perbedaan merupakan rahmat. Indonesia bukan satu jenis manusia, tapi paduan perbedaan yang harus sama – sama dirangkul, dan dijaga.
Dalam upayanya merawat keindonesiaan, mengindonesiakan Indonesia, Gus Dur tentu tidak populer di mata banyak kelompok. Di mata politisi Islam lainnya, ia dinilai liberal, bagi kelompok ultra nasional, ia terlalu lembek. Tapi, Gus Dur populer di kalangan orang – orang teraniaya di Republik Indonesia ini.
*)Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. CEO aceHTrend.