Oleh Irwandi Zakaria SAg MAg*
Sejak beberapa tahun belakangan kata disrupsi menjadi sangat terkenal. Sering terdengar orang menyebutnya dalam beragam forum, baik formal maupun tidak. Kata disrupsi biasa disandingkan dengan era atau zaman, sehingga menjadi era disrupsi.
Kata disrupsi menurut Kamu Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online berarti hal tercabut dari akarnya. Sesuatu yang bisa jadi berbeda dan bahkan pada fase tertentu berlawanan dengan kebiasaan tatanan sebelumnya, itulah disrupsi. Manusia berada dalam kondisi ketidakpastian dan semua hal menjadi mungkin untuk dikritik. Nihilismme seakan menjadi filosofi hidup manusia zaman ini. Kehidupan manusia berada di drama yang sangat kompleks, dengan media sosial sebagai alat pencitraan yang sangat murah untuk menghiasi diri.
Guru Besar Harvard Business School, Clayton M Cristhensen melalui bukunya yang berjudul The Innovator Dilemma (1997) menerangkan disrupsi adalah perubahan besar yang mengubah tatanan. Fenomena menjamurnya e-commerce hari ini merupakan salah satu contoh disrupsi (Irwan Hidayat, https://radarjember.jawapos.com/opini/07/12/2019/tantangan-masyarakat-di-era-disrupsi).
Penulis sendiri menyebutnya dengan zaman haro-hara yang bermakna kondisi adanya keributan, ketidakpastian atau bahkan persengketaan. Hal ini terlihat bahwa tatanan dunia semakin susah diprediksi dalam beragam hal. Misalnya sistem demokrasi yang awalnya diagung-agungkan oleh manusia modern, kini mulai digugat. Ternyata demokrasi bisa dikalahkan oleh sistem oligarkhi yang sama saja dengan kerajaan yang dulunya dikritik habis-habisan oleh kaum pencinta demokrasi dengan alasan suara rakyat, suara Tuhan. Slogan itu kini bisa diplesetkan menjadi suara rakyat, suara tuan atau selera tuan.
Tatanan dunia yang demikian tentunya memengaruhi juga dalam bidang pendidikan. Di era disrupsi kita kehilangan kepercayaan kepada manusia. Padahal sesungguhnya manusia sebagai pelakon utama dunia pendidikan sepertinya semakin kehilangan muka dalam membentuk manusia yang paripurna dia era disrupsi ini. Padahal tanpa manusia apalah artinya dunia ini. Sehingga keraguan malaikat dalam cerita Islam terhadap penciptaan manusia yang akan merusak dunia terasa semakin nyata.
Manusia semakin diragukan mampu menyembuhkan peradaban yang sedang sakit. Saat yang sama bahkan manusia lebih percaya pada mesin, yang di belakangnya ada juga manusia. inilah salah satu wujud ambiguitas manusia post modern.
Ada beberapa ciri-ciri era disrupsi yang dapat dijelaskan melalui (VUCA), yaitu perubahan yang masif, cepat, dengan pola yang sulit ditebak (volatility), perubahan yang cepat menyebabkan ketidak pastian (uncertainty), terjadinya kompleksitas hubungan antarfaktor penyebab perubahan (complexity), kekurangjelasan arah perubahan yang menyebabkan ambiguitas (ambiguity). Pada era ini teknologi informasi telah menjadi basis atau dasar dalam kehidupan manusia termasuk dalam bidang bidang pendidikan di Indonesia, bahkan di dunia saat ini tengah masuk ke era Revolusi Sosial Industri 5.0. Pada Era Revolusi Industri 4.0 beberapa hal terjadi menjadi tanpa batas melalui teknologi komputasi dan data yang tidak terbatas, hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh perkembangan internet dan teknologi digital yang masif sebagai tulang punggung pergerakan dan konektivitas manusia dan mesin. Era ini juga akan mendisrupsi berbagai aktivitas manusia, termasuk di dalamnya bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta pendidikan tinggi (RISTEKDIKTI, 2018).
Padahal melihat pada filosofi tujuan pendidikan, khususnya di Indonesia berbasiskan pada nilai-nilai agama sebagai tumpuan dasarnya. Dalam Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Guru Anti Haro-Hara
Maka di sekolah guru sebagai pelakon utama proses pembelajaran yang langsung berhadapan dengan siswa perlu dicarikan orang-orang yang berjiwa sejati menjadi guru. Orang-orang yang memiliki panggilan jiwa menggeluti dunia pendidikan. Bukan hanya sebagai “guru karyawan” yang bekerja berdasarkan bayaran tertentu. Bayaran yang hanya akan memberi makna duniawi, bila tanpa didasari bahwa niat bekerja sebagai sebuah pengabdian pada Tuhan. Perwujudan dari tugas manusia yang paling yaitu menjadi khalifah di dunia.
Hal ini menjadi penting disadari bagi semua kita yang sudah terlanjur menjadi guru atau memang panggilan jiwa menjadi guru. Karena menjadi guru bukan hanya jadi transpondent pengetahuan sebagai pengajar kepada peserta didik. Tapi lebih mulia dari itu adalah proses transfer nilai yang akan menjadi bangunan besar peradaban manusia yang akan datang.
Guru bertanggung jawab terhadap hitam putihnya peradaban manusia di masa mendatang. Bila hanya bekerja dengan jumlah bayaran bukan dari hati, dalam artian bersungguh-sungguh memberikan yang terbaik pada peserta didik. Sungguh hal tersebut hanya sia-sia saja menghabiskan umur bekerja sebagai guru. Bila merujuk kepada nilai-nilai keislamanan maka posisi guru sebenarnya sangat mulia. Mereka menjadi penghubung manusia mengenal Tuhan yang menjadi pemilik alam ini. Mereka adalah para pewaris rasul yang menjalankan amanah kenabian sepanjang masa. Maka kerinduan kita pada mereka ini untuk benar-benar hadir di sekolah dan menyentuh hati siswa dengan akhlak kenabian yang sangat lembut semoga bisa terwujud.
Karena profesi guru sungguh tak akan memberi kekayaan material luar biasa bagi pelakonnya. Dibandingkan dengan waktu yang harus dihabiskan, misalkan 24 jam seminggu minimal bagi guru profesional sebagai aparatur sipil negara (ASN). Walau pemerintah telah memberi dan selalu menggaungkan ada sertifikasi bagi guru. Pertanyaannya berapa persen dari guru Indonesia yang sudah sertifikasi, dan selanjutnya apakah semua guru yang sudah sertifikasi akan mudah mendapatkan jam yang cukup. Ternyata hal ini juga menjadi kendala bagi guru untuk bisa lebih sejahtera.
Makanya mengubah orientasi ke dimensi ukhrawi sebagai guru sangatlah penting. Sehingga nilai kerja bukan hanya sejumlah materi yang didapat di dunia yang akan habis karena kebutuhan dan inflasi laju harga barang yang sangat cepat. reorientasi kepada kepuasan batin akan lebih membuat guru bekerja maksimal dibandingkan dengan hanya menjalankan rutinitas robotik masuk keluar kelas tanpa dimensi ukrawi.
Hal tersebut sebenarnya telah diingatkan di awal menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab 1 Pasal 1 ayat 1, menegaskan bahwa yang dimaksud dengan guru adalah: pendidik profesional yang memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Penulis berkeyakinan kalau langkah akhlak kenabian yang berlandaskan pada keikhlasan dalam melaksanakan tugasnya oleh para guru. Sungguh perdebatan soal karakter anak-anak zaman haro-hara ini akan teratasi oleh guru dalam waktu cepat. Namun, kita juga berharap adanya teladan pemimpin di sektor pendidikan atau lainnya, yang mampu memberi kenyamanan bagi guru untuk bekerja dengan lebih ikhlas akan mudah tercapai. Bukan tipe pemimpin yang menyebarkan haro-hara yang membuat ketidakpastian nasib guru.
Penulis meyakini bahwa guru telah bekerja dengan sangat maksimal dan sangat ikhlas. Karena bagaimana pun penghargaan pada guru harus diutamakan dibandingkan dengan kritikan yang terus menerus. Apabila dirasakan banyak hal yang kurang dalam pelaksanaan tugas para guru di kelas, maka negara wajib hadir dengan berbagai instrumentasi kekuasaan yang ada untuk mengintervensi.[]
*Penulis adalah Ketua IGI Kabupaten Pidie dan Kepala SMAN Ulumul Quran (SMAN-UQ) Pidie
Editor : Ihan Nurdin