Dua hari ini Aceh kembali heboh, setelah diumumkan sebagai Provinsi dengan tingkat kemiskinan yang “juara” di sumatera, plus ranking 6 nasional dengan perolehan nilai 15,43%.
Seperti yang tertuang dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait data penduduk miskin di Indonesia.
Data terbaru itu dilaporkan untuk periode September 2020, di mana tercatat jumlah orang miskin Indonesia naik dari 10,19% menjadi 27,55 juta, dan Aceh berdiri tegar dalam sepuluh besar Provinsi termiskin di Indonesia.
Namun kali ini, rakyat Aceh sepertinya enggan kesal terhadap hasil itu, sepertinya rakyat mulai menikmatinya dengan senyuman, buktinya, terlihat aksi ulok-ulok. Di sosial media lain lagi, sejuta satiran memenuhi linimasa. Sekali lagi tidak banyak yang terlihat marah-marah, barangkali sudah maklum.
Kutipan dari komedian asal Amerika Serikat William Henry Cosby, Jr. yang menjadi paragraf pembuka tulisan ini setidaknya membuat kita dapat menerka-nerka apakah kita sedang menikmati kemiskinan dengan humor.
Di sudut sebuah bundaran, tepatnya sebelum pintu masuk Bandara Internasional Iskandar Muda Blang Bintang, terpasang spanduk yang bertuliskan ucapan selamat kepada Gubernur Aceh atas perolehan Aceh menjadi Provinsi paling miskin, ada lagi ucapan melalui papan bunga yang dijejerkan di depan Kantor Gubernur Aceh.
Tidak jelas siapa pula yang memasangnya, meskipun sebagian orang tidak kaget dengan kondisi yang menyatakan Aceh adalah Provinsi termiskin di Sumatera. Namun mirisnya kejadian ini menambah daftar riwayat kegagalan Pemerintah Aceh selain yang dituduhkan bahwa Pemerintah Aceh telah gagal mengelola keistimewaan Aceh.
Di sisi lain, elit politik masih sibuk mengurus hajatan demokrasi lima tahunan, Pilkada lebih menarik untuk diperjuangkan dari pada kesejahteraan, konon suara sumbang menyatakan begitu.
Lihatlah bagaimana World Bank mendefenisikan kemiskinan sebagai kehilangan kesejahteraan atau deprivation of well being.
Kemiskinan seolah menjadi biang dari segala keterbatasan, mulai dari keterbatasan sosial, ekonomi, dan politik. Hal tersebut bila lama kelamaan dibiarkan bakal membentuk Aceh sebagai daerah yang rentan untuk tidak berdaya hingga akhirnya terpuruk.
Ada yang mengatakan melihat kemiskinan di Aceh itu gampang-gampang susah. Apalagi kejahatan semakin meninggi dengan cara-cara yang konyol. Seorang teman berkata pada Saya.
“Coba lihat kasus pencurian lembu dan kerbau di Laweung, pencuri menggunakan toyota avanza, yang mencuri pake mobil dan yang dicuri bisa jadi masyarakat biasa.”ujarnya ke Saya.
Hal tersebut disebutnya sebagai sebuah tindakan yang aneh, ada kesan yang mencuri adalah orang yang mampu dan yang menjadi korban pencurian karena kemiskinannya, meskipun ada saja kemungkinan mobil yang pakai merupakan mobil rental, itu katanya lain cerita. Kita berharap dugaan tersebut keliru, sambungnya lagi.
Kembali lagi ke soal kemiskinan tadi, Presiden Jokowi sendiri pernah mengatakan, dana yang mengalir semakin besar ke daerah, ke desa, seharusnya kata beliau bisa membuka lapangan kerja yang lebih luas dan mengentaskan kemiskinan.
Tetapi tidak semua kepala daerah bisa cakap berbuat dan mampu menjalankan apa yang disampaikan oleh Sang Presiden. Belum lagi dana yang diberikan tersebut kadang rela di Silpa-kan daripada terealisasi.
Aceh tidak lagi bertenaga dalam menguatkan peran pemerintahannya sendiri, kita tak kuat lagi menjaga ritme perubahan, apalagi kebutuhan hukum nasional semakin melesat tajam sedangkan ketentuan hukum lokal kian terbatas daya geraknya.
Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang pernah disakralkan itu sudah tidak sekuat dulu lagi, dia mulai hilang daya angkat, konon tidak lagi mampu mengangkat banyak urusan yang diatur di dalamnya, andai saja kepentingan Aceh tetap terjaga, maka UUPA adalah alas dan sumber dalam pembangunan hukum di Aceh.
Kini, banyak ketentuan dalam UUPA yang sudah diatur tidak dapat dijalankan lagi. Hal tersebut sebenarnya bukan hal yang tak memiliki dasar di mata hukum. Misalnya ada ketentuan yang berlaku, kemudian menjadi batal karena terbit ketentuan yang baru, dan hal tersebut diatur dalam adigium hukum agar norma tidak saling bertubrukan.
Kemudian, cara kita memahami keistimewaan Aceh juga menjadi penyebab munculnya debat. Ada yang menganggap bahwa UUPA mengatur hal-hal yang spesial. Bisa jadi satu sisi benar, namun entah kita lupa atau kita lengah dalam memahami bahwa UUPA itu adalah sumber hukum dalam menata pemerintahan daerah di Aceh.
Ada rezim hukum nasional yang mengatur masalah yang lebih khusus. Misalnya UU Pemilu, UU Pilkada dan banyak hal lain. Maka dengan hadir UU tersebut menandakan UUPA bersifat umum. Bagi yang yakin bahwa setiap yang diatur dalam UUPA merupakan kekhususan Aceh Saya pikir itu sudut pandang, karena bisa jadi ini soal menjaga kepentingan Aceh dan penguatan otonomi daerah.
Dalam penjelasqn UUPA telah dijelaskan, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh. Tetapi sampai detik ini Aceh belum sejahtera.
Kembali lagi ke realita bahwa Aceh paling miskin di Sumatera. Maka, iba-tiba Saya teringat dengan sebuah novel yang berjudul Cinta Dalam Gelas karya Andrea Hirata, Dia menukilkan bahwa kemiskinan susah diberantas karena pelakunya senang menjadi miskin. Dan mungkin karena itu tidak salah untuk kita mengucapkan kata, selamat Pak kita juara!
Ahmad Mirza Safwandy
*Penulis adalah pendiri media siber aceHTrend*