ACEHTREND.COM, Langsa — Michigan State University Amerika Serikat bekerja sama dengan Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala dan Institut Pertanian Jogjakarta menggelar pelatihan perhitungan cadangan karbon (carbon stock) dan biodiversity yang dimiliki oleh hutan Aceh.
Pelatihan yang dilaksanakan selama dua minggu sejak 14-20 Februari 2021 ini mengikutsertakan peserta dari perwakilan stakeholder bidang kehutanan, akademisi, dan perwakilan kelompok masyarakat yang terlibat dalam berbagai program perhutanan sosial. Mereka berasal dari perwakilan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Aceh, KPH Tahura Pocut Meurah Intan, BKSDA Aceh, BPDASHL Kruang Aceh, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, perwakilan Universitas Teuku Umar (UTU) dan Program Studi Kehutanan USK serta perwakilan kelompok masyarakat, dengan jumlah keseluruhan mencapai 60 orang.
Pelatihan ini bertujuan untuk memperkenalkan teknik (tools) pengumpulan data pengukuran carbon stock, biodiversity dan kondisi kesehatan hutan (forest integrity) Aceh kepada para pemangku kepentingan dalam upaya mengelola dan mempertahankan kelestarian hutan di Provinsi Aceh.
Ketua Prodi Kehutanan FP USK Dr Ashabul Anhar menyatakan, pentingnya kegiatan yang sedang dilaksanakan ini sebagai salah satu upaya untuk mengetahui, menggali, dan menghitung secara akurat berbagai potensi yang dimiliki dan tersimpan di dalam kawasan hutan Aceh. Data hasil perhitungan dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh MSU ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dapat digunakan oleh berbagai pihak untuk berbagai kepentingan.
Doktor lulusan salah satu universitas terkemuka di Jerman ini juga menambahkan, pengelolaan hutan Aceh membutuhkan konsistensi, sumber daya manusia, dan dukungan pendanaan yang besar serta keseriusan Pemerintah Aceh terutama agar kontinyu memantau perkembangan pengelolaan dan perlindungan hutan yang masih tersisa.
“Saat ini Aceh memiliki lebih dari 3 juta hektare kawasan hutan. Namun, dalam pengelolaannya kita belum dapat menyajikan secara akurat dan aktual berbagai potensi yang kita miliki,” kata Dr Ashabul Anhar, Kamis (18/2021).
Salah satu persoalannya adalah keterbatasan SDM dan pendanaan yang tidak memadai untuk melakukan aktivitas tersebut.
“Salah satu titik lemah pengelolaan hutan kita saat ini adalah tidak tersedianya data berbagai potensi baik hasil hutan kayu maupun nonkayu serta manfaat hutan lainnya yang up to date dan dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.
Narasumber dari MSU, Dr Jay Samek, dalam penyampaiannya secara daring menyebutkan bahwa tools yang dikembangkan oleh MSU ini tidak hanya berguna untuk mengetahui cadangan karbon yang dikandung oleh suatu kawasan hutan, tetapi dapat digunakan untuk merancang pengelolaan hutan secara lestari. Misalnya untuk melakukan rehabilitasi, maka dapat menggunakan data ketersediaan anakan yang sesuai dengan kondisi lokal dan kelimpahan jenis yang tersedia secara alami di wilayah atau kawasan hutan setempat, tanpa harus mendatangkan jenis dari luar kawasan.
“Hal ini penting diperhatikan untuk menghindari rendahnya keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan akibat salah dalam memilih jenis tanaman,” katanya.
Ketua Panitia, Subhan Bakri, menyampaikan, pelatihan ini dilaksanakan sejak 7-19 Februari 2020 di dua lokasi berbeda yang mewakili berbagai tipe ekosistem yang dimiliki hutan Aceh, yaitu kawasan pesisir pantai barat Aceh, yang mewakili kawasan ekosistem rawa gambut dan tanah mineral serta kawasan pesisir pantai timur Aceh yang mewakili kawasan ekosistem mangrove.
Panitia juga menghadirkan Siti Maimunah sebagai narasumber penting yang turut serta mengembangkan tools yang dipakai menghitung karbon. Siti Maimunah merupakan sosok penting dalam bidang lingkungan hidup. Ia salah satu srikandi yang meraih penghargaan kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta mendapat penghargaan sebagai sosok hero oleh CNN-Indonesia atas inisiatifnya mengembangkan model hutan pendidikan di Kalimatan Tengah.
Menurut Siti Maimunah, pelatihan ini dapat berguna bagi KPH untuk mengetahui potensi hutan yang mereka kelola.
“Target di masa mendatang, KPH dapat melanjutkan pengumpulan data potensi ini secara mandiri sehingga akan sangat membantu pengelolaan hutan di tingkat tapak, termasuk di dalamnya menyusun rencana kegiatan pengelolaan hutan lainnya.”
Melaui program pelatihan ini diharapkan Pemerintah Aceh melalui DLHK dengan melibatkan KPH dan perguruan tinggi dapat melakukan monitoring karbon, biodiversity dan kesehatan hutan secara periodik, sehingga akan tersedia informasi tentang potensi hutan Aceh yang akurat dan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak.
Salah satu wujud nyata program yang dapat dilaksanakan DLHK adalah dengan membuat Petak Ukur Permanen (PUP) yang mewakili berbagai tipe ekosistem khas yang dimiliki hutan Aceh yang dapat di monitoring secara berkala, sehingga akan tersedia berbagai informasi perkembangan hutan.
Penanggung Jawab Pelatihan, Dr Ashabul Anhar, menyebutkan bahwa PUP ini nantinya dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pembelajaran bagi para mahasiswa kehutanan untuk meningkatkan kompetensi lulusan dalam upaya memantau jasa ekosistem hutan.
“Pelatihan yang dikemas dalam tema Ecosystem Service Measurement and Monitoring Tools Workshop ini disponsori oleh Asia Pasific Network (APN) berkolaborasi dengan berbagai perguruan tinggi terkemuka, satu di antaranya adalah Program Studi kehutanan Universitas Syiah Kuala,” tutupnya.[]