Oleh Muhajir Al-Fairusy*
Setelah perang yang tak kunjung henti, dan tsunami tiba yang selalu dijadikan garis menghitung tempo zaman oleh manusia Aceh, tak ada yang dapat dibanggakan dari negeri Otsus ini selain mie aceh dan kopi. Meskipun ada wacana Syariat Islam dan kenangan konflik, itupun dirampas oleh para politisi mendongkrak elektabilitas, dan para peneliti sosial serta akademisi dalam dan luar Aceh, sekadar dipublikasi dalam bentuk karya ilmiah guna menunjang prestasi akademik. Pada saat bersamaan, sabu-sabu dari data dan cerita hilir mudik masuk ke kampung-kampung, belum lagi fenomena chipisasi yang kian horor menghantui. Fatwa MPU, tempat perkumpulan para ulama melarang chip, dipecundangi.
Ajang MTQ yang diharap mampu mendongkrak marwah Aceh mengingat tersimpan aura Syaria Islam di sana, juga kian sering kandas. Tak henti-hentinya “ujian” bagi negeri yang pernah menaklukkan Malaka pada abad ke-16 M, kini Aceh distigma sebagai provinsi termiskin di Kepulauan Sumatera. Kawasan yang dulunya hampir sebagian besar dikuasai dan ditaklukkan Aceh dalam menyebar agama dan mengamankan kekuasaannya. Seperti yang diungkapkan guru besar Anthropologi UGM, hari ini kemashuran Aceh sebagai pusat perdaban Islam dan pendidikan telah menjadi dongeng, Aceh menduduki provinsi papan bawah dari 35 Provinsi di Indonesia.
Guna mengobati “kurap” yang kini menggorogoti hampir seluruh sendi kehidupan Aceh di tengah limpahan dana otsus yang mencapai 8 triliun saban tahun, para penguasa tak kehilangan cara, mereka mengoles obat gatal, seperti dengan menempel tulisan Aceh Hebat di badan-badan armada kapal laut. Strategi ini seperti sihir yang kerap dipakai tukang obat kaki lima. Memang, tidak sembuh, tapi setidaknya menjadi pereda gatal yang kian akut dengan munculnya jenis “kurap baru” bernama kemiskinan. Tak berhenti di situ, mereka juga menuduh rokok yang pernah dijadikan simbol perlawanan dulu saat konflik dengan adigium “sibak rukok teuk” sebagai pemicu kemiskinan. Sontak para perokok kalang kabut mendapat sorotan ini. Bingung, otsus melimpah, tembakau kena getah.
Kemiskinan Aceh dan Krisis Identitas
Ada ragam respon terhadap data statistik yang menjadikan Aceh termiskin. Pertama, kelompok yang menganggap Pemerintah Aceh telah gagal mengurus Aceh. Secara satir berbagai kritik dilontarkan, termasuk mengirim papan bunga sebagai ucapan prestasi termiskin se-Sumatera. Kehadiran kelompok ini setidaknya telah membantu mengasah nalar dan membuat publik Aceh dapat “tertawa” karena gaya humoris yang disajikan menghadapi grab dan jok stigma Aceh termiskin.
Kelompok kedua, mereka yang apatis. Tak peduli Aceh distigma miskin dan lebeling lainnya. Selama secangkir kopi masih bisa diseruput dan wifi muncul di pojok kanan android, selama itu kemiskinan Aceh versi angka-angka statistik bukanlah ancaman. Toh, meskipun dituduh miskin pun selama tak menyinggung identitas agama, warung kopi tetap sesak dan tak ada tuna wisma di Aceh yang kerap dijadikan alasan pertahanan diri.
Kelompok ketiga, mereka dalam lingkaran kekuasaan yang menolak stigma dan labeling Aceh miskin dengan segudang narasi anti-thesis. Wajar, mengingat kelompok ketiga ini gerbong yang berada paling depan menjawab segala stigma yang muncul di Aceh hari ini. Alih-alih mengakui salah asuh, justru konstestasi argumen dan pembelaan terhadap tuduhan Aceh miskin yang kerap mewarnai media.
Kelompok keempat, para ilmuwan yang hanya menjadikan tema kemiskinan sebagai wacana dan peristiwa sosial, lalu melalui proyek riset mulai menyelam menggali penyebab mengapa Aceh miskin. Namun, temuan-temuan penelitian adakalanya hanya bertengger di lembaran publikasi, lebih parah jika hanya sekadar pendongkrak kum dan disajikan dalam bahasa asing, yang membuat publik Aceh sebagian besar sulit menguasai bahasa asing kian bingung, apa temuan tersebut. Istilah populernya data yang disajikan untuk sekadar mendapat indeks publikasi.
Kelompok kelima, mereka yang hanya pasrah karena pengaruh teologi. Lalu menaknai kemiskinan sebagai bagian takdir, dan mengatasinya dengan penyelenggaraan ritual tertentu. Alih-alih memanfaatkan agama sebagai spiritual dan kecerdasan lokal melawan kemiskinan, justru terjebak pada kepasrahan.
Sebagai penutup catatan ringan ini, sekaligus cemeti bagi penulis sendiri dan segenap manusia Aceh, saya kembali membongkar catatan penting yang diungkapkan oleh Irwan Abdullah (guru besar antrhopologi UGM), bahwa perkembangan Aceh memperlihatkan disrupsi besar, ada ancaman terhadap peradaban Aceh dan berpotensi hilangnya identitas agama dalam tatanan kehidupan di Aceh. Peran yang terlalu lama telah melahirkan gaya hidup pragmatis dalam masyarakat Aceh yang kerap mensubordinatkan etika dan moral.
Fenomena ini telah melumpuhkan fondasi ekonomi karena identitas Aceh sesungguhnya mengalami krisis. Apalagi, kemunduran ekonomi di Aceh juga diakibatkan oleh ketidakmampuan Aceh bertransformasi terutama dari sektor pendidikan. Sebagaimana disebut Irwan Abdullah, hari ini pendidikan di Aceh justru menjadi pelayan kekuasaan dengan mengabaikan filosofi pendidikan sebagai emansipasi dan kreasi. Share of knowledge berbasis kearifan lokal (agama dan budaya) hampir tak terjadi, justru yang muncul adalah objek indoktrinisasi bagi kepentingan kekuasaan. Gaung pendidikan seperti masa Abdurrauf dan Ar-Raniry sebagai bentuk kecerdasan lokal terabaikan dan terkooptasi dalam ranah ekonomi-politik (Irwan Abdullah, 2018).
*)Penulis adalah antropolog.