Dalam sejarah kepemimpinan Islam, Umar bin Abdil Aziz merupakan salah seorang pemimpin yang dikenal adil dan saleh. Suatu hari dalam sebuah kisah, bahwa beliau melangkah menuju isterinya Fathimah binti Abdil Malik.
Isterinya pun ditanya tentang permata yang Dia miliki,”Dari mana mendapatkannya?”Tanya Umar bin Abdil Aziz kepada Sang Istri. Dan Isterinya menjawab,”Amirul Mukminin telah memberiku”. Jawabnya.
Umar bin Abdil Aziz kembali mengatakan: “Kembalikanlah ke Baitul Mal, atau izinkan aku menceraikan dirimu. Aku tidak ingin berkumpul denganmu, sementara barang itu masih ada di dalam rumah”.Tegas Sang Khalifah Umar bin Abdil Aziz.
Begitulah Sang Raja yang adil, Dia tidak ingin dunia dalam genggamannya. Apa yang diteladankan oleh Umar bin Abdil Aziz dan Sang Istri, hal yang tak pernah kita jumpai dari Istri-Istri pejabat saat ini yang hidup glamour bahkan untuk sebuah sepeda pun rela membelinya sampai ratusan juta.
Tetapi begitulah Isteri yang salehah, tidak sedikitpun Dia menginginkan menyelisihi Suami yang saleh, Dia lebih memilih untuk menjawab, “Aku lebih memilihmu daripada memiliki barang semacam itu berlipat-ganda,” maka ia segera meletakkannya di Baitul Mal.
Di belahan bumi Aceh, tragedi yang menimpa seorang murid sekolah di Lhokseumawe-Aceh Utara, putus sekolah dan tinggal di gubuk kumuh karena didera kemiskinan, mungkin tidak akan terjadi kalau saja sosok seperti Umar bin Abdil Aziz menjadi Gubernur Aceh, tapi pemimpin inspiratif sekelas Umar bin Abdil Azis hadir hanya dalam mimpi anak-anak Aceh.
Bahkan ketika anak-anak Aceh tertidur lelap, mereka berharap untuk terus bersama Umar bin Abdul Azis dalam mimpi, tanpa berharap untuk bangun lagi esok pagi, karena hanya akan berhadapan dengan realita kemiskinan dan menatap mata para pemimpin Aceh yang penuh ketamakan, serta tangan meraka yang kotor berlumur fee kontraktor.
Akibat perilaku pemimpin Aceh hari ini yang tak memberi keteladanan serta norma kepemimpinan yang melindungi dan melayani, telah menyebabkan generasi pemilik masa depan Aceh, kehilangan kesempatan mereguk indahnya masa kecil dan remaja, pupusnya peluang untuk memperoleh pendidikan sebagai bekal mereka menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks.
Di tengah keterpurukan rakyat Aceh akibat pandemi covid-19 dan harapan hadirnya uluran tangan pemerintah, sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab moral, mengatasi setiap kesulitan rakyat. Para pemimpin Aceh justru berlomba-lomba melakukan perampokan secara sistemik, tanpa rasa risih dan empati terhadap kemiskinan yang membelit rakyat selaku pemilik sah tanah warisan indatu.
Bahkan yang lebih melukai hati rakyat, ketika diketahui sang pemimpin tidak berada di Aceh selama berminggu-minggu hanya untuk memenuhi hasrat kesenangannya. Sesungguhnya rakyat Aceh tidak berharap terlalu muluk, walau mengetahui Aceh memiliki kemampuan untuk mengangkat harkat martabat rakyatnya pada taraf hidup yang layak.
Rakyat Aceh merindukan pemimpin yang proporsional dan sadar akan tugasnya melayani, mengayomi serta menjadi teladan, agar generasi yang akan datang memiliki bekal moral sebagai pedoman menjadi manusia Aceh yang tangguh dan bermanfaat bagi sesama. Aceh memang bukan zaman Umar Bin Abdil Azis yang memilih jalan kezuhudan.
Sri Radjasa Chandra
*Pemerhati Aceh, aktif menulis dan menyorot kebijakan Pemerintah Aceh.*