Oleh Muhajir Al-Fairusy*
Di antara banyak negeri yang agak anomali cara hidup adalah Aceh. Mengaku memiliki cerita sejarah yang agung, tapi kerap mengabaikan, bahkan menggusur situs sejarah demi pembangunan yang terkesan serakah.
Memang, antara serakah dengan sejarah di Aceh kerap berkelindan, beberapa kasus yang beruntun terjadi di kawasan ini sejak pascatsunami. Mulai cerita bantuan yang dikorup, rumor anggaran beasiswa untuk pembelajar yang dirampas, hingga otsus yang diklaim luas belum mampu mengkonkstruksi simbol kesejahteraan, dan masyarakatnya hanya terjebak dengan utopia masa lalu. Rentetan catatan yang cukup menggambarkan watak penduduk negeri ini kian payah dan hanya dibelenggu libido “mitos” masa lepas.
Saat Snouck Hurgronje menulis tentang orang Aceh dalam bukunya Aceh di Mata Kolonialis, peneliti ini ikut menampilkan lampiran peta Aceh dan daerah taklukannya untuk menunjukkan kekuatan negeri Aceh, Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepuauan Nusantara Abad XVII da XVIII ; Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, yang menggambarkan ketangguhan intelektual Aceh dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Snouck dan Azra mengakui bagaimana keuletan intelektual Aceh belajar dan menancapkan pengaruhnya di Nusantara ini. Aceh yang begitu metropolitan sebutnya. Namun, jika melihat kondisi Aceh hari ini, nyaris semua cerita tersebut seperti “mitos” yang dikonstruksikan. Pertama, karena ekonomi Aceh tak setangguh sejarahnya. Kedua, Aceh kurang peduli pada situs sejarahnya.
Kesadaran pada jejak sejarah Aceh, sebentar memelekkan mata tatkala gerakan peduli sejarah yang diinisiasi oleh Mapesa (Masyarakat Peduli Sejarah Aceh) beruntun melakukan kegiatan bongkar pasang jejak nisan (batee jeurat) yang terombang-ambing akibat gempuran tsunami dan lama terabaikan oleh zaman. Sebagian nisan Aceh yang indah dengan ukiran kaligrafi khasnya yang berisi pesan spiritual dan identitas pemilik makam, menjadi jejak bisu ketangguhan Aceh dulunya. Situs ini sebagian besar mulai tenggelam dalam tanah. Bahkan, separuhnya kerap dijadikan batu asah pedang dan parang oleh segelintir masyarakat karena fungsinya mampu menajamkan besi, sejak Aceh mulai berperang. Mapesa hadir mengungkit kembali.
Namun, lagi-lagi usaha membangun kesadaran pada kejayaan masa lalu dengan segudang upaya menyelamatkan situs sejarah harus berbenturan dengan pembangunan di Aceh. Mulai kasus Gampong Pande, Pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) hingga peristiwa pembangunan jalan tol yang ditengarai ikut menggusur jejak ketangguhan Aceh. Namun, keberpihakan penguasa pada pembangunan jelas ditampakkan, dengan mengabaikan jejak sejarah yang pernah gemilang. Pada saat yang bersamaan, kita dihadapkan dengan contoh kongkrit bagaimana sejarah seharusnya dirawat, pemakaman Kerkhoff melalui Yayasan Dana Peutjut atas inisiasi JHJ Brendgen-seorang kolonel Marsose rajin menyalurkan dana perawatan sejak tahun 1976 dari cerita mendiang sejarawan ternama Aceh Rusdi Sufi.
Sejarah dan kedigdayaan Aceh seperti yang ditulis Snouck dan Azra kian hambar saat melihat realitas, bagaimana penguasa memperlakukan sejarah yang cenderung berpihak pada pemodal. Sejarah hanya sekadar dimasturbasi, dan bergema di warung kopi sebagai penawar identitas diri. Harus diakui, Belanda sebagai kolonial dalam konteks ini lebih unggul dan beretika dalam melindungi sejarah (bangsa) Aceh. Mulai bagaimana menaruh perhatian pada Masjid Raya yang dibakar dan mudah terbakar karena material kayu, dan merekonstruksi kembali dengan material permanen sebagai restitusi akibat perang. Tak hanya itu, Belanda bahkan menyaputi benda-benda yang menjadi simbol kejayaan Aceh seperti Meriam Secupak di Museum Leiden, hingga menulis cerita bagaimana orang Aceh hidup dalam catatan etnografi yang dapat dijadikan rujukan sepanjang masa untuk mengenal (bangsa) Aceh sebelum chaos seperti sekarang.
Nasib sejarah (di) Aceh, mengingatkan saya pada cerita Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan yang ditulis oleh Kuntowijoyo dalam buku Cerpen Pilihan Kompas (1997). Metafor cerdas yang digunakan untuk menggambarkan keserakahan, saat seorang desa yang tua dan tekanan kemiskinan menjadi maling, namun beberapa gerombolan manusia yang dimetafor dalam bentuk binatang buas, menyerbu dan merampas rejeki (tak halal) tersebut dari si miskin desa tersebut. Tentu saja, si miskin kalah, dan komplotan penjarah terus memperkaya diri. Demikianlah sejarah (di) Aceh, setelah digebuk oleh kondisi akut dan kritis, kemudian keberadaannya dirampas oleh perewa atas nama pembangunan.
Sebagai penutup, mendompleng pada celoteh Soekarno, bangsa besar adalah bangsa yang mengenal sejarah, cukup untuk menunjukkan kualitas mental struktur setangkup masyarakat. Malaysia besar dengan sejarah Kemelayuannya. China mulai digdaya dengan konfusionismenya, dan beberapa bangsa besar lainnya. Malar-malar mengajari bangsa Aceh mengenal sejarah, mengingat sebagian besar penduduk Aceh sadar betul pada cerita kejayaan Aceh, lalu narasi ini dihidupkan dalam diskusi untuk menepuk dada atas jati diri.
Bahkan, sejarah Aceh pernah dijadikan instrumen resistensi saat konflik melawan Pusat, meskipun kandas. Namun, songongnya, setelah damai dan perang berlalu, sejarah di Aceh diperlakukan seperti halnya ‘wanita simpanan’ yang hanya dibutuhkan sececah, lalu dihilangkan tanpa bekas oleh libido keserakahan atas nama pembangunan. Miris!
*)Penulis Buku Jejak Sejarah Aceh di Nias.