Oleh Ahmad Humam Hamid*
Seperti halnya di berbagai tempat lain dunia, posisi sentral pandemi dan dampak yang ditimbulkan juga melanda pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam. Bukti kuat tentang hal ini setidaknya tercermin tentang konsep thaun yang digunakan dalam pepatah Arab klasik. Pepatah itu menerangkan tentang cerita kemalangan kematian yang diakibatkan oleh penyakit sejenis ghudda seperti unta yang terjadi di rumah seorang wanita Bani Salul.
Berbagai kisah yang menguraikan tentang muasal pepatah itu diceritakan dalam berbagai versi tentang kedatangan seorang kepala suku Bani Sha’sha’saah yang juga penyair yang bertemu Rasul, dan menanyakan tentang keistimewaan apa yang akan dia dapatkan sekirannya ia memeluk Islam. Tentu saja Rasul tidak menjamin keistimewaan kepadanya, lalu ia mengancam dan kemudian pergi. Doa Rasul kemudian dikabulkan Allah Swt, kepala suku itu meninggal di rumah seorang wanita Bani Salul, sebuah klan yang hina dan nista di kalangan suku Badui. Ia meninggal dengan lidah terjulur dan terhuyung dan disebutkan ia terkena thaun.
Sebelum ia mati ia mengucapkan dua hal yang tidak terhormat tentang kematiannya, thaun dan rumah wanita Bani Salul. Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad diceritakan penjelasan Rasul tentang thaun yang dianalogikan seperti penyakit yang menyebabkan unta mati yang disebut dengan ghuddah.
Mengutip Ibnu Hanbal dalam kitab Musnad VI, sejarawan Lawrence I. Conrad (1981) menguraikan tentang pernyataan Nabi Muhamad saw kepada pengikutnya, “Ummatku tidak akan binasa, kecuali karena tha’n-luka perang dan thaun.” Ketika ia ditanya lebih jauh tentang thaun Rasul menjelaskan bahwa thaun adalah seperti ghudda yang menimpa unta. Di dalam literatur Arab klasik diterangkan tentang penyakit ghudda pada unta dengan berbagai gejala seperti nafas terengah-engah disertai batuk (Dolls 1974 ), bengkak di belakang rahang dan tenggorokan dan juga di kelenjar getah bening (Haffner 1905).
Sejarah mencatat paling kurang sekitar 130 tahun pertama setelah Hijrah Rasul tercatat paling kurang 8 epidemi (Askalani dalam Kateb 2005) yang terjadi di Arab, terutama di kawasan yang hari ini dikenal dengan Saudi Arabia, Irak, Iran, dan Syiria. Catatan sejarah Islam mencatat wabah Shirawayh yang terjadi ketika Rasul masih hidup adalah wabah pertama yang terjadi pada tahun 6 Hijriah, -627 Masehi, terjadi di Kota Madi’in-kepustakaan barat menyebut Kota Ctesiphon- di Iran. Nama wabah itu dikaitkan dengan penguasa dinasti Sasanid, kaisar Cirroes yang kemudian meninggal karena wabah itu.
Tak lama setelah kejadian wabah Shirwayh tepatnya pada tahun 17 Hijriah, ketika pasukan Islam melakukan ekspansi ke Syiria, terjadi wabah Amwas. Pada saat itu terjadi Umar bin Khatab menjadi khalifah, dan melakukan sejumlah kebijakan yang dalam pandangan kedokteran dan kesehatan publik modern sebagai kebijakan yang sangat canggih. Ia membuat kebijakan lock-down, walaupun kebijakan itu diprotes oleh sejumlah sahabat lain.
Wabah Amwas sangat sering menjadi rujukan, karena di samping keputusan Umar yang brilian, wabah ini juga membunuh banyak sahabat Rasul seperti Abu Ubaydah, Yazid bin Abu Sufyan, Muadh ibn Jabal, Shurahbil bin Hasanah, Fadli bin Abbas, Abu Malik al-Ashari, dan Haris bin Hisham. Sejawan Attabari (1879) menerangkan, kejadian wabah Amwas membuat kaum muslimin terpukul dalam usaha memperluas wilayah dan pengaruh Islam ke seluruh dunia Arab.
Tiga dekade setelah terjadi wabah Amhas, kekhaifahan Islam kembali mendapat serangan wabah lagi. Wabah tahun 49 H atau 669 M itu terjadi di Kufah sehingga ditabalkan sebagai wabah Kufah. Paling kurang ada tiga wabah lain yang dicatat dengan baik pada abad pertama dan awal abad ke kedua pada masa Islam klasik. Wabah-wabah itu adalah wabah Al Jarif terjadi di Basrah Irak pada tahun 69 H atau 688 M, wabah Alfatayat 87 H atau 706 M yang terjadi di Kufah, Basrah dan Damaskus. Selanjutnya sejarah juga mencatat wabah Ashraf 97 H atau 716 M yang menulari banyak penduduk Irak dan Syiria. Wabah lain yang tidak mempunyai nama, tetapi dianggap signifikan adalah wabah yang terjadi pada tahun 125 H, atau tepatnya 744 M.
Wabah-wabah itu mencatat tidak hanya kematian rakyat banyak, akan tetapi juga para elite kekhalifahan pada masa itu. Ketika wabah Kufah terjadi, sang Gubernur Kufah, Mughirah bin Shubah, yang sempat keluar Kota ketika wabah itu terjadi, lalu kembali ketika wabah mereda, juga mengalami kematian. Wabah ini juga berdampak terhadap ekspansi Islam ke Andalusia, karena ketika pasukan Islam hendak menyeberangi Selat Bosphorus, banyak dari mereka yang meninggal karena tertular dengan wabah ini.
Wabah Al Jarif membunuh cukup banyak kaum muslimin. Catatan tertinggi kematian manusia terjadi pada bulan April tahun 689, selama tiga hari berturut-turut, yakni 70.000, 71.000, dan 73.000 di Kota Basrah saja. Sebuah catatan menyebutkan Anas bin Malik kehilangan anaknya akibat wabah ini sejumlah 83 orang. Catatan juga menguraikan tentang kesulitan yang dialami oleh Gubernur Basrah, Ubaid Ellah, untuk menguburkan ibunya, karena kematian warga yang begitu banyak.
Berbagai kejadian selama satu abad lebih tahun Hijriah dan ketika pemerintahan Islam pasca khulafaurrasyidin dipegang oleh Dinasti Umayah berbagai respons terjadi. Sejarah mencatat paling kurang respons terhadap pandemi ditemukan dalam sastra (Husain,1958; Brinner & Khouri,1971), politik, ekonomi (Pamuk & Shatzmiller 2014; Ashtor 1976; Abu-Lughod 1989; Shatzmiller 2011; Findlay and O’Rourke 2007, Udovitch 1962; Issawi 1980) dan utamanya konsepsi penyakit menular dalam kebijakan publik (Al Razi dalam Kuhn 1906; AlTabari dalam Goldziher 1896; Al Majusi dalam Kraus &Walzer 1951; Ibn Sina dalam Keil 1950).
Istilah waba atau thaun misalnya jelas menunjukkan deskripsi biologi dari penyakit menular, dan kedua kata itu juga menerangkan tentang pengaruh besar pandemi terhadap masyarakat. Tidak dapat dipungkiri kata adalah kumpulan huruf yang mewakili fenomena tertentu yang disepakati ole publik. Kalau dalam kehidupan hari ini dalam khazanah pembahasan agama, seringkali seolah wabah dan thaun dianggap sebagai dua kata yang merepresentasikan fenomena yang sama, berbagai kajian sejarah dan filologi menerangkan perbedaan yang sangat mendasar.
Menelusuri keterangan dari AnNawawi Conrad (1981) misalnya menyebutkan waba adalah suatu penyakit yang menyerang populasi dalam satu periode tertentu, sehingga ia sangat mirip dengan istilah modern terhadap penyakit menular, epidemi atau pandemi. Sedangkan thaun, dalam keterangan dari berbagai catatan awal periode Islam klasik, lebih dikaitkan dengan dengan penyakit sampar, yang lazim disebut dengan bubonic plage. Ini adalah penyakit pes yang pernah menyerang wilayah Romawi pada abad ke-4, yang namanya disebut dengan Yustinian Plague.
Waba juga sangat sering disebutkan dengan kejadian besar penyakit menular, yang utamanya berkembang di perkotaan. Keterkaitan penyakit tertentu dengan populasi yang banyak seperti di perkotaan, semakin meyakini peneliti sejarah. Kesimpulan yang didapatkan dengan demikian adalah waba pasti berasosiasi dengan thaun, sedangkan thaun tidak selamanya berasosiasi dengan waba.[]
Penulis adalah Guru Besar Universitas Syiah Kuala
Editor : Ihan Nurdin