Oleh Nita Juniarti*
“Apa hal baru yang bisa kita lakukan saat ini?” tanya Sya pada kekasihnya, Ti.
“Bagaimana kalau kita kawin dulu, baru setelah itu kita bicarakan kembali!,” jawab Ti.
“Kenapa harus kawin? Jika masa depan sekarang bisa dibangun tanpa kawin?”
“Yah, kawin itu untuk orang-orang beradab agar tau perbedaan antara hal yang tidak baik lantas jadi baik.”
“Kawin itu cuma melegalkan hubungan saja. Pekerjaan yang harusnya haram!”
“Aku tidak ingin berdebat denganmu, jika kau mau kawin denganku mari bahas masa depan. Jika tidak aku akan kawin dengan orang lain.”
“Apa artinya kawin bagimu? Sampai sepenting itu. Aku mencintaimu, bahkan hingga langit runtuh dan bumi menjadi datar!”
“Cinta tidak pernah cukup tanpa kawin!”
Hari berlalu, perdebatan sengit itu membuahkan hasil. Sya melamar kekasihnya, Ti, dia menyerah. Ti adalah satu-satunya perempuan yang tegar dalam perjuangan apa pun yang sedang diperjuangkan, tidak akan dibiarkan Ti yang berpotensi itu jatuh ke tangan lelaki yang lebih jahanam darinya. Mereka menikah dalam sebuah acara sederhana yang khidmat, akad nikah dilangsungkan, mereka menjadi sepasang suami istri yang tercatat di negara dan agama.
“Apakah kau puas?”
“Iya, ini cerita baru untukku. Menjadi istrimu, kawin denganmu!”
“Lalu, apa yang akan kita lakukan setelah ini?”
“Merancang masa depan yang kauimpikan. Kau ingin ajak aku apa?”
“Aku ingin punya rumah di tengah hutan dengan kau!”
“Tak masalah, bagiku asal untuk umat meski di tengah hutan, kita harus berbuat.”
“Umat mana yang kau maksud?”
“Mana saja, yang penting gelarnya masih manusia belum malaikat.”
***
Sya membangun rumah di tengah kebun peninggalan keluarganya untuk Ti. Mereka hidup dengan baik di sana. Listrik dan air tersedia cukup, setiap hari Ti bahagia merawat kebun lama dan membentuk kebun baru keluarga kecil mereka. Rumah mereka diliputi hutan dan terbuka, jika malam rasanya jadi seperti kebun binatang.
Sya sungguh beruntung, rumah mereka tidak akan sepi lagi. Sebulan perkawinan, Ti mengandung buah cinta mereka. Namun, kabar buruk. Seorang teman aktivis menjemput Sya dan mengabarkan bahwa negeri tidak sebaik rumah mereka yang berada di tengah hutan.
“Sya, perjuangan sedang memanggil.”
“Kenapa Sya harus ikut?” tanya Ti, sensitif.
“Sebab, ketika muda Sya adalah pemimpin paling depan soal kerusakan lingkungan, belum lagi ini persoalan tambang!”
“Buka YouTube Sya!”
“Astaga, kenapa kehidupan pengantin baru melenakanku?”
“Kenapa?”
“Lihat ini, Ti!”
“Berangkatlah, berdirilah di barisan paling depan, di moncong senjata itu. Jangan biarkan siapa pun semena-mena pada alam. Jika kau izinkan aku ikut, aku ingin berada di barisan paling depan kalau bisa tepat di moncong senjata para penghalang!”
“Buatlah kopi Ti, tidak bagus tamu jauh terlalu lama tanpa kopi.”
“Baik, tapi kau ingat kataku tadi.”
“Tentu!”
Teman Sya kaget, Ti istri Sya lebih histeris ketimbang Sya.
“Sebenarnya, perempuan seperti apa yang kau ajak kawin Sya?”
“Perempuan gila, dia seorang gila dan berambisi, baris depan aktivis perempuan!”
“Astaga!”
“Kenapa?”
“Kukira setelah kawin kita akan jadi orang kalah sebab kawin adalah untuk orang bersusila dan beradab sehingga segala protes meski untuk kebaikan lingkungan akan didiamkan!”
“Tentu tidak, tergantung dengan siapa kaukawin.”
Ti kembali, dia meminjam handphone dan mencari lebih banyak data.
“Terima kasih sudah menjemput Sya. Bawa dia untuk memikirkan keadaan panasnya negara. Kauharus pergi untuk revolusi. Harus meninggalkan keluarga demi revolusi.”
“Aku akan berangkat sekarang”
“Aku ikut”
“Tidak, sekiranya aku tidak kembali di malam keseratus perkawinan kita, maka susul aku dan silakan berada di barisan paling depan. Semoga kita ketemu di akhirat.”
“Baik!”
Setelah menyeruput kopi, Sya pergi bersama kawannya.
***
Sialnya, malam ke-88 perkawinan mereka, perut Ti mulai membesar, setiap pulang ke kampung tetangga mulai berbisik, bagaimana perempuan yang ditinggal suaminya bisa hamil? Ti tidak peduli, hidup di tengah hutan dan tanpa turun ke kampung, dia akhirnya memenuhi segala kebutuhannya. Malam ke-99, Ti sudah bersiap-siap akan berangkat di hari ke-100 pernikahan mereka.
Belum sampai hari ke-100, baru malamnya, segerombolan orang datang ke desa. Desa kisruh, berita sampai ke telinga Ti sebab orang-orang berlari ke hutan, ke rumahnya. Ia menjamu mereka tapi situasi itu tidak lama. Segerombolan orang itu menyerbu rumah Ti, anak-anak diambil, perempuan diperkosa, laki-laki ditembak. Ti masih mematung. Siapa pun yang bergerak akan jadi mayat.
“Apa kau perempuan yang bernama Ti dan akan menjadi pejuang?”
“Ada apa?”
“Suamimu Sya, sudah dirobek-robek srigala karena sok menjadi pahlawan!”
“Sial, kenapa tidak sekalian dirobek-robek semua hewan buas demi perjuangan?”
“Hah!”
“Apa?”
“Benar kabarnya, dia perempuan gila perjuangan!” bisik teman si penanya.
“Apa yang kausesali?” tanyanya pada Ti.
“Kawin! Seandainya aku tidak mendengar bahwa kawin adalah pencegah perjuangan maka aku akan menyesal. Tapi sekarang, aku tidak menyesal kawin karena suamiku, adalah pejuang!”
“Omong kosong!”
“Bumi, alam, dan segala isinya yang ada di negara ini memang milik negara, negara yang mana? Rakyat yang mana yang menikmatinya, apakah seupil orang kaya? Secuil pejabat? Aku dan semua orang di sini juga rakyat, kami berhak membela apa yang Tuhan anugerahkan, kenapa dibedakan?”
“Siapa pun yang melawan adalah pengkhianat.”
“Siapa yang bilang?”
“Penguasa.”
“Lantas siapa yang menghakimi para penguasa! Omong kosong!”
“Susul suamimu yang dimakan serigala, perempuan jahanam!”
Lelaki itu makin tak sabar.
“Suamiku mati dimakan serigala, jasadnya abadi sebagai pejuang, tidak ada yang mengalahkan semangat perjuangan!”
Door!
Peluru itu bersarang di perut Ti, tepat di mana anaknya tidur dengan tenang.
“Aku…tak…menyesal… kawin!” gumam Ti.
Doorr!
Genangan darah perjuangan tidak ada yang menahan lajunya.[]
*Penulis adalah warga Aceh Barat Daya, peserta kelas menulis Sigupai Mambaco
Editor : Ihan Nurdin